psychehumanus.id

Mengapa Karyawan Baru Cepat Mundur? Panduan Onboarding Humanis yang Bikin Karyawan Baru Betah!

Mengapa-Karyawan-Baru-Cepat-Mundur

Sebagai seorang manajer, Anda tentu familiar dengan tantangan onboarding. Setelah melewati proses rekrutmen yang panjang dan melelahkan, Anda akhirnya mendapatkan kandidat terbaik. Namun, tak jarang, euforia itu hanya bertahan beberapa minggu. Karyawan baru yang awalnya penuh semangat tiba-tiba mengirimkan email pengunduran diri, meninggalkan Anda dengan pertanyaan: “Apa yang salah?” Fenomena ini bukanlah hal baru. Menurut laporan dari Brandon Hall Group, 31% karyawan baru mengundurkan diri dalam 6 bulan pertama. Angka ini mengerikan, mengingat biaya yang dikeluarkan untuk rekrutmen, pelatihan, dan waktu yang terbuang. Masalahnya bukan hanya pada gaji atau posisi, melainkan pada pengalaman onboarding yang gagal. Onboarding yang sekadar administratif—penandatanganan kontrak, pembagian laptop, dan sesi presentasi—sudah tidak relevan. Di era Great Resignation dan Quiet Quitting ini, karyawan mencari lebih dari sekadar pekerjaan; mereka mencari makna, koneksi, dan rasa dihargai. Onboarding adalah momen krusial untuk memberikan semua itu. Jadi, bagaimana kita bisa mengubah proses yang kaku menjadi pengalaman yang humanis, personal, dan tak terlupakan? Berikut adalah panduan langkah demi langkah yang bisa Anda terapkan. Pra-Onboarding: Bangun Antusiasme Sebelum Hari Pertama Onboarding tidak dimulai di hari pertama. Itu dimulai saat karyawan menerima tawaran kerja. Fase ini adalah kesempatan emas untuk mengurangi kecemasan dan membangun antisipasi. Kirimkan ‘Welcome Kit’ yang Menyenangkan: Kirimkan paket ke alamat karyawan baru beberapa hari sebelum mereka mulai bekerja. Isinya bisa berupa surat sambutan, merchandise perusahaan (kaos, hoodie, buku catatan), dan jadwal ringkas untuk minggu pertama. Ini adalah sentuhan kecil yang menunjukkan bahwa Anda peduli. Sebuah laporan dari Glassdoor menyebutkan bahwa 70% kandidat yang menerima paket sambutan merasa lebih antusias untuk bergabung. Hubungan Pribadi: Manajer dan tim HR harus proaktif. Kirimkan email atau pesan yang ramah, memperkenalkan tim, dan menjawab pertanyaan yang mungkin belum terlintas di benak mereka. Berikan informasi praktis seperti lokasi kantor, kode berpakaian, atau tempat parkir. Ini membuat mereka merasa dihargai, bukan sekadar nama di lembar data. Hari Pertama: Dari Administrasi Menjadi Sambutan Hangat Hari pertama haruslah tentang koneksi, bukan dokumen. Hilangkan antrean panjang di meja HR dan ganti dengan pengalaman yang berkesan. Meja Kerja yang Siap & Personal: Pastikan laptop, ID card, dan akses ke semua sistem sudah tersedia dan berfungsi di meja mereka. Jangan biarkan mereka menunggu. Tempatkan pesan sambutan pribadi dari tim atau manajer di meja mereka. Sentuhan personal ini sangat berarti. Tur Kantor & Perkenalan Langsung: Ajak karyawan baru berkeliling kantor. Kenalkan mereka kepada setiap anggota tim, bukan hanya manajer. Ini bukan sekadar formalitas, tapi kesempatan untuk membangun koneksi. Ajarkan mereka bagaimana tim Anda bekerja, siapa yang harus dihubungi untuk pertanyaan tertentu, dan di mana tempat terbaik untuk istirahat. Makan Siang Bersama Tim: Jadwalkan makan siang bersama di hari pertama. Ini adalah cara yang informal namun efektif untuk memecah kekakuan, membangun hubungan, dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari keluarga. Pekan Pertama: Menyelami Budaya & Mengikat Hubungan Setelah hari pertama yang menyenangkan, tantangan selanjutnya adalah mempertahankan momentum. Minggu pertama adalah waktu yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai dan budaya perusahaan. Sesi ‘Budaya dalam Aksi’: Ajak karyawan baru untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang mencerminkan nilai perusahaan. Jika perusahaan Anda menghargai inovasi, undang mereka ke sesi brainstorming atau ide. Jika kolaborasi adalah kunci, berikan mereka tugas kecil yang melibatkan kerja tim. Cerita Inspiratif dari Karyawan Senior: Alih-alih presentasi PowerPoint yang membosankan, undang beberapa karyawan senior untuk berbagi cerita. Biarkan mereka menceritakan bagaimana mereka memulai, tantangan yang dihadapi, dan mengapa mereka tetap bertahan. Cerita-cerita ini tidak hanya menginspirasi tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang apa artinya bekerja di perusahaan Anda. Sistem Pendukung: Mentor dan Buddy System Karyawan baru membutuhkan dukungan, dan dua sistem ini terbukti sangat efektif. Program Mentor: Pasangkan karyawan baru dengan seorang mentor yang lebih senior. Mentor ini berfungsi sebagai pembimbing profesional. Mereka membantu karyawan baru memahami struktur perusahaan, menavigasi jalur karier, dan memberikan nasihat berharga. Sebuah studi dari Harvard Business Review menemukan bahwa program mentoring dapat meningkatkan retensi karyawan hingga 50%. Sistem Buddy: Ini lebih santai. Pasangkan mereka dengan seorang rekan kerja dari tim yang sama. Buddy adalah tempat bertanya hal-hal sepele yang sering kali malu ditanyakan kepada manajer, seperti “Di mana letak dispenser air?” atau “Bagaimana cara kerja printer?” Ini membangun rasa aman dan nyaman. Transparansi dan Tujuan Jelas: Rencana 30-60-90 Hari Salah satu alasan utama karyawan baru merasa tidak termotivasi adalah kurangnya tujuan yang jelas. Buatlah peta jalan yang transparan untuk mereka. Rencana 30-60-90 Hari: Bersama manajer, buatlah rencana terstruktur. 30 hari pertama: Fokus pada pembelajaran. Tujuannya adalah memahami peran, tim, dan produk atau layanan perusahaan. 60 hari: Mulai berkontribusi. Berikan mereka tugas kecil yang relevan, seperti menulis satu postingan blog atau menganalisis data sederhana. 90 hari: Mandiri. Mereka sudah bisa menjalankan tugas utama dengan pengawasan minimal. Umpan Balik yang Teratur: Jadwalkan pertemuan rutin, bisa mingguan di bulan pertama, untuk memberikan umpan balik, menjawab pertanyaan, dan memastikan mereka berada di jalur yang benar. Tips Praktis untuk Manajer: Fleksibilitas: Tanyakan preferensi mereka. Apakah mereka lebih suka bekerja dari kantor atau dari rumah? Pastikan mereka memiliki semua alat yang dibutuhkan untuk kedua opsi. Keterlibatan Lintas Departemen: Jadwalkan perkenalan virtual dengan tim-tim lain yang akan sering berinteraksi dengan mereka. Ini membangun pemahaman tentang bagaimana semua departemen saling terhubung. Minta Masukan: Setelah 30 hari, ajak mereka berdiskusi tentang pengalaman onboarding mereka. Apa yang berjalan baik? Apa yang bisa diperbaiki? Mendengarkan adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa Anda menghargai mereka. Kesimpulan Onboarding bukanlah proses satu hari. Ini adalah perjalanan yang membangun fondasi kuat bagi loyalitas dan produktivitas karyawan. Dengan mengubah fokus dari administrasi menjadi pengalaman yang humanis, kita tidak hanya meningkatkan retensi tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang positif dan memberdayakan. Sebagai seorang manajer, investasi waktu dan energi dalam onboarding adalah investasi terbaik untuk kesuksesan tim Anda di masa depan. Apakah Anda memiliki pengalaman onboarding yang luar biasa atau buruk? Bagikan cerita Anda di kolom komentar di bawah! Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Menjadi Pemimpin yang Berpikir Jauh ke Depan: Fokus pada Karier August 22, 2025/No CommentsRead More Menjadi Pemimpin yang Memotivasi: Seni Memberi Umpan Balik dan Standar yang Jelas August 22, 2025/No CommentsRead More Mengubah Pola Pikir: Dari Atasan Jadi Pemimpin Sejati August 22, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.

Cara Resign Kerja: Tips Bijak dan Profesional

cara-resign-kerja

Mengundurkan diri dari pekerjaan adalah keputusan besar bagi seorang karyawan. Fenomena resign kerap menjadi pembicaraan hangat, misalnya gelombang pengunduran diri massal pasca-Lebaran. Data penelitian menunjukkan fenomena ini nyata: survei UPI mencatat rata-rata 41% karyawan Indonesia keluar dari pekerjaannya setiap tahun, dan Survei BCG mencatat 34% karyawan di Indonesia/ASEAN aktif mencari pekerjaan baru pada 2023. Angka-angka tersebut mengindikasikan hampir setengah tenaga kerja berpindah dalam setahun. Di satu sisi, karyawan mencari peluang lebih baik (40% mengaku perlu gaji lebih tinggi karena inflasi); di sisi lain perusahaan harus menyiapkan strategi agar kehilangan talenta terbaik tidak melumpuhkan bisnis. Artikel ini membahas cara resign kerja profesional dan terencana, sekaligus strategi perusahaan menurunkan angka resign, sehingga transisi bagi keduanya bisa lancar dan saling menguntungkan. Fakta penting: biaya turnover karyawan sangat mahal. Studi Gallup menunjukkan mengganti satu karyawan dapat menelan 50–200% dari gaji tahunannya. Selain itu, SHRM melaporkan tingkat turnover Indonesia mencapai 13,2% per tahun (teknologi dan ritel hingga 18%). Artinya, perusahaan kehilangan banyak talenta berharga jika tidak ditangani dengan baik. Sebaliknya, karyawan yang resign tanpa persiapan matang bisa merusak reputasi profesional. Dengan memahami langkah-langkah berikut, baik karyawan maupun perusahaan dapat mengelola proses resign secara baik. Persiapan dan Perencanaan Sebelum Resign Sebelum memutuskan resign, evaluasi alasan dan rencana Anda. Setiap keputusan berhenti kerja sebaiknya berlandas motivasi yang jelas dan perencanaan matang. Tanyakan pada diri sendiri: apakah masalahnya ketidakcocokan budaya, stres kerja, atau ada tawaran lebih menarik? Penelitian Santoso & Amin menunjukkan faktor seperti stres kerja, kompensasi, dan kepemimpinan sangat memengaruhi keinginan keluar karyawan. Jika gaji atau tunjangan terlalu rendah, peluang promosi terbatas, atau beban kerja berlebih, hal-hal itu bisa memicu niat resign. Kenali “pain point” Anda dan timbang pro kontra. Selain itu, siapkan perencanaan finansial. Praktisi HR menyarankan agar karyawan memiliki dana darurat minimal beberapa bulan untuk biaya hidup selama proses transisi kerja. Ini mencegah keharusan resign terburu-buru karena kebutuhan uang. Bangun jaringan (networking) lebih luas: perkuat relasi dengan kolega lama, atasan, atau kontak industri yang bisa menjadi referensi atau membuka peluang baru. Dengan merencanakan secara teliti, Anda bisa resign dengan tenang dan percaya diri, bukan dalam kondisi panik. Langkah-Langkah Resign Kerja yang Profesional Saat waktunya memutuskan resign, ikuti langkah formal berikut agar transisi berjalan mulus: Berikan Pemberitahuan yang Memadai Sampaikan niat resign Anda kepada atasan atau HRD minimal dua minggu sebelum tanggal efektif (atau sesuai ketentuan kontrak/PKWT). Memberi waktu cukup membantu perusahaan mencari pengganti dan mengatur ulang tugas. Contoh kutipan “Memberikan pemberitahuan yang cukup memberi waktu bagi perusahaan untuk mencari pengganti” menunjukkan norma dua minggu itu penting. Tulis Surat Pengunduran Diri Profesional Buat surat resign singkat dan jelas. Cantumkan tanggal pengajuan, tanggal efektif, alasan singkat (tanpa detail negatif), serta ucapan terima kasih atas kesempatan bekerja. Hindari menyertakan komplain atau emosi negatif. Surat formal ini menjadi dokumen resmi penutupan kerja Anda. Komunikasi Langsung dengan Atasan Jika memungkinkan, sampaikan niat resign secara tatap muka dengan atasan sebelum menyerahkan surat. Ini menunjukkan sikap profesional dan menghargai hubungan. Setelah pembicaraan, serahkan surat resign Anda. Bantu Proses Transisi: Selesaikan tugas-tugas penting sebelum Anda pergi. Dokumentasikan pekerjaan Anda, buat panduan singkat untuk pengganti, dan tawarkan diri membantu melatih rekan atau penerus posisi Anda. Sikap ini menunjukkan tanggung jawab dan komitmen profesional meski Anda keluar. Pertahankan Profesionalitas hingga Akhir Tetaplah disiplin dan bertanggung jawab sampai hari kerja terakhir. Jaga hubungan baik dengan tim dan atasan. Melepas jabatan secara elegan meningkatkan reputasi Anda di masa depan. Seperti dianjurkan, “tetaplah profesional dalam menjalankan tugas hingga hari terakhir” dan jaga komunikasi baik dengan rekan kerja. Langkah-langkah di atas adalah praktik umum yang disarankan media karier terkemuka. Dengan mengikuti etika ini, Anda mengundurkan diri secara terhormat dan meminimalkan risiko “membakar jembatan” yang dapat merugikan karier selanjutnya. Hak dan Kewajiban Karyawan yang Resign Saat resign, karyawan tetap memiliki hak-hak tertentu meski melepas jabatan. Peraturan ketenagakerjaan Indonesia (UU Cipta Kerja) mewajibkan pemberitahuan minimal 30 hari sebelum pengunduran diri efektif. Selain itu, meski Anda tidak berhak atas pesangon karena resign atas kemauan sendiri, Anda berhak mendapatkan uang penggantian hakseperti sisa cuti yang belum diambil, ongkos pulang kampung, atau tunjangan lain sesuai kontrak perusahaan. Dalam praktiknya, talenta HR sering menghitung penggantian cuti dengan rumus sederhana (mis. 1/25 × (gaji pokok+tunjangan tetap) × sisa cuti). Lebih lanjut, karyawan resign juga berhak atas uang pisah dan Surat Keterangan Kerja (Paklaring). Paklaring berisi keterangan bahwa Anda pernah bekerja di perusahaan tersebut untuk periode tertentu – dokumen ini penting sebagai referensi pekerjaan selanjutnya. Pastikan hak-hak ini diajukan ke HRD: misalnya negosiasikan besaran uang pisah (berbeda tiap perusahaan) dan pastikan cuti tak terpakai dihitung dalam kompensasi. Jangan lupa, pemenuhan hak-hak ini diatur pemerintah; perusahaan yang ingkar dapat dikenai sanksi. Contoh Hak Karyawan yang Biasanya Diterima Uang Pisah (kompensasi kerja lama) Uang Penggantian Hak (sisa cuti, biaya pulang) Surat Keterangan Kerja/Paklaring Memahami hak-hak ini penting agar proses resign berjalan adil. Diskusikan detail tersebut dengan HRD atau atasan Anda saat menyampaikan pengunduran diri, untuk menghindari kesalahpahaman di akhir masa kerja. Dampak Resign dan Strategi Perusahaan Mencegah Turnover Turnover karyawan tidak hanya mengganggu individu; bagi perusahaan hal ini berdampak besar. Studi Gallup menyatakan biaya mengganti satu karyawan bisa 50–200% gaji tahunannya. Selain itu, tingkat turnover Indonesia (SHRM 2024) sekitar 13,2% per tahun. Perusahaan yang tidak strategis dapat kehilangan stabilitas operasional, produktivitas berkurang, dan tim yang masih bekerja kena beban ekstra (burnout). Untuk mengurangi angka resign, perusahaan perlu mengenali penyebab utama karyawan keluar. Penelitian menunjukkan budaya kerja adalah faktor krusial: perusahaan dengan budaya kuat hanya mengalami ~13,9% turnover dibandingkan ~48,4% jika budaya lemah. Artinya, lingkungan kerja yang positif dapat menekan niat keluar karyawan. Selain itu, pengembangan karier juga kunci: survei LinkedIn Learning menemukan 94% karyawan akan bertahan lebih lama jika perusahaan berinvestasi pada pengembangan karier mereka. Berbagai riset juga menyoroti manajemen dan kepemimpinan: 68% karyawan mempertimbangkan resign jika tidak mendapat dukungan manajerial (Glints). Berikut beberapa strategi retensi yang efektif bagi perusahaan: Budaya Perusahaan yang Positif Bangun lingkungan kerja yang suportif dan menghargai karyawan. Terapkan nilai transparansi dan komunikasi terbuka. Misalnya, Bagikan secara rutin pencapaian perusahaan dan peran kontribusi setiap karyawan, agar mereka merasa dihargai. Budaya inklusif yang baik membuat karyawan betah dan bersemangat bekerja. Investasi Pengembangan Karier Sediakan program pelatihan, mentorship, dan jalur karier yang jelas. Bareksa, … Read more

Resign Adalah: Saatnya Ambil Langkah Baru

resign-adalah

Pernah merasa stuck dalam rutinitas kerja? atau memutuskan resign tapi ragu mau mulai dari mana? Resign adalah langkah besar yang patut dipahami dengan teliti—bukan sekadar “keluar kerja”, tapi sebuah proses karier yang butuh strategi matang. Artikel ini hadir untuk HR, pemilik bisnis, dan praktisi SDM untuk menangkap inti resign dari perspektif manusia dan organisasi: alasan, efek, hingga cara mengajukannya dengan mulus. Resign Adalah Pada Dasarnya Keputusan Relasional Secara sederhana, resign adalah tindakan karyawan mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan saat ini. Itu bukan cuma pintu keluar, tetapi juga langkah strategis menuju arah baru—entah karier, kesehatan, atau kehidupan. Mengapa Bukan Sekadar “Keluar Kantor”? Alasan resign melampaui rutinitas. Beberapa faktor dominan berdasarkan penelitian kualitatif di perusahaan BPO dan HR blog: Karier yang stagnan atau tidak berkembang (Fairness & Growth) Tawaran pekerjaan baru (faktor utama ~46% pada studi BPO semarang tahun 2020) Alasan keluarga & kesehatan (masalah kesehatan 7%, kepentingan keluarga 39% dalam studi) Ingin berwirausaha (~7% pada studi sama)  Tambahan, budaya organisasi, apresiasi, beban kerja juga sering muncul sebagai pemicu resign. Dampak Resign terhadap Individu dan Organisasi Karyawan: bisa meraih kepuasan (job-fit), menurunkan stress, membuka peluang karier. Perusahaan: harus siap kehilangan aset (skill, knowledge), biaya rekrut, risiko knowledge drain. Menariknya, resign bukan hanya permasalahan “orang mau keluar”, tapi juga sinyal bagi HR tentang manajemen SDM dan budaya kerja. Cara Profesional Ajukan Resign Berikut alur praktikal yang ramah HR dan beretika: Pilih timing tepat — beri tahu minimal 30 hari sebelumnya Sampaian niat langsung ke atasan — jujur dan profesional. Siapkan surat pengunduran diri resmi — termasuk tanggal efektif. Bantu transisi tugas — transfer knowledge & training pengganti. Pamit secara baik — tinggalkan relasi positif, bisa berdampak pada reputasi. Resign di Indonesia: Aspek Legal Di bawah UU Ketenagakerjaan dan PP PKWT-PHK, resign adalah bentuk PHK oleh karyawan yang mengajukan permohonan tertulis selambat‑lambatnya 30 hari sebelumnya.Perusahaan wajib memproses dengan mengakhiri hubungan kerja sesuai ketentuan, bukan memaksa karyawan resign dalam kondisi tekanan—itu ilegal. Fakta Menarik: Studi Talenta (2022) melaporkan fenomena resign massal (great resignation)—sebuah tren global di mana banyak karyawan ninggalin pekerjaan karena kultur, manajemen, dan pandemi. Di satu studi BPO Semarang: 46% resign karena kerja baru, 39% karena keluarga, 7% karena kesehatan, 7% karena wirausaha. Kesimpulan Resign adalah keputusan strategis, bukan sekadar “keluar kantor”. Dari perspektif SDM dan HR, ini momentum untuk evaluasi: Apa yang membuat talent bergerak?: gaji, karier, budaya. Bagaimana menjaga transisi yang smooth?: komunikasi, kompensasi, exit interview. Bagaimana mencegah tren resign massal?: engagement, fleksibilitas, kesejahteraan, jalur karier jelas. Rekomendasi Tindak Lanjut untuk Perusahaan Bangun sistem retensi: jalur karier, upskilling, gamification. Lakukan exit interview, survei kepuasan secara berkala. Kembangkan program backing karyawan untuk bisnis sampingan, studi, cuti. Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Gangguan Psikologis Adalah Cermin dari Konflik Batin  July 12, 2025/No CommentsRead More Asesmen Psikologi Adalah: Pemahaman dan Manfaatnya July 12, 2025/No CommentsRead More Mengapa Cemas Berlebih? Menelisik Penyebab Tak Terduga July 12, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.

Alasan Resign saat Interview: Skenario yang HR Harus Tahu

alasan-resign-saat-interview

Setiap alasan yang karyawan ungkapkan dalam exit interview adalah sinyal penting, bukan sekadar formalitas. Tren terkini pun menampilkan tantangan besar: 34% karyawan di Indonesia/ASEAN aktif mencari kerja baru pada 2023, dipicu oleh inflasi dan kebutuhan pendapatan lebih tinggi. Momentum pasca-Lebaran sering menjadi pemicu resign massal, bukan hanya karena THR, melainkan akumulasi ketidakpuasan karyawan. Bagi HR, exit interview bukan sekadar rutinitas – setiap jawaban karyawan adalah alarmyang menunjukkan masalah krusial internal: apa penyebab utama tingginya turnover? Artikel ini menggali alasan-alasan resign yang sering terucap saat wawancara keluar, serta implikasinya bagi strategi HR dan bisnis. Menelaah Alasan Resign Karyawan dari Perspektif HR Banyak survei menunjukkan pola serupa. Survei Mercer (2019) menyebut 9 alasan tertinggi resign: jalur karier tidak jelas, upah rendah, hubungan kerja buruk, benefit minim, stres tinggi, dan budaya perusahaan yang tak sesuai ekspektasi. Data Indonesia konsisten mendukung tren ini. 41% karyawan resign karena gaji dianggap tidak memadai, 26% karena beban kerja berlebihan, dan 26% karena merasa tidak cukup diapresiasi. Kondisi tersebut mengindikasikan perlunya evaluasi mendalam oleh tim HR untuk memperbaiki kebijakan internal. Faktor Kompensasi dan Beban Kerja Gaji dan Tunjangan Kompensasi finansial adalah pemicu klasik. Banyak karyawan menilai gaji yang diterima tidak lagi sebanding dengan tanggung jawab yang diemban. Tak heran, tawaran pekerjaan lain dengan paket gaji lebih tinggi sering menggoda mereka yang merasa kurang dihargai secara finansial. Selain gaji pokok, tunjangan dan bonus juga berperan. Karyawan yang melihat peluang di luar dengan kompensasi lebih kompetitif cenderung berpaling. Beban Kerja Beban kerja yang tidak proporsional sering memicu burnout. Sekitar 26% responden menyebut overload kerja sebagai alasan resign. Tanpa distribusi tugas yang adil dan dukungan sumber daya, karyawan cepat kelelahan. Dampak jangka panjangnya adalah produktivitas menurun dan pekerja akhirnya memilih mundur demi menjaga keseimbangan hidup. Karier dan Pengembangan Jalur Karier Jelas Peluang pengembangan karier menjadi faktor krusial. Banyak karyawan mengundurkan diri karena tidak melihat jalur karier yang jelas di perusahaan. Survei lokal menunjukkan 25% karyawan pergi karena tidak ada peta pengembangan karier yang transparan. Tanpa panduan promosi dan peningkatan keterampilan, mereka merasa stagnan dan mencari peluang baru di tempat lain. Peluang Pengembangan Selain jalur karier formal, karyawan memiliki keinginan eksplorasi. Sekitar 26% karyawan resign ingin mencoba jenis pekerjaan baru, sedangkan 21% merasa bosan dengan rutinitas monoton. Untuk mencegah hal ini, perusahaan bisa menerapkan program job rotation atau proyek lintas divisi, sehingga karyawan mendapatkan tantangan baru tanpa harus keluar. Lingkungan Kerja dan Kepemimpinan Budaya Perusahaan Budaya dan iklim kerja sangat memengaruhi keputusan bertahan. Sekitar 23% menyebut lingkungan kerja toxic—seperti gosip, diskriminasi, atau persaingan tidak sehat—sebagai alasan resign. Ketika atmosfer negatif menguat, kepuasan kerja menurun dan bahkan karyawan berbakat pun memilih berhenti demi kesehatan mental mereka. Hubungan dengan Atasan Faktor ini sering menjadi penentu. Gallup menegaskan 75% karyawan resign karena bos mereka. Seorang manajer yang kurang empati, kerap marah-marah, memaksakan lembur tanpa kompensasi, atau jarang memberi penghargaan sederhana dapat menghancurkan motivasi tim. Bagi HR, penting mengenali pola tersebut: melatih manajer untuk berkomunikasi efektif dan suportif sangat krusial agar tim merasa dihargai. Faktor Eksternal dan Pribadi Tidak semua alasan keluar berasal dari faktor internal. Banyak karyawan resign karena mendapat tawaran lebih menarik dari perusahaan lain. Pasar tenaga kerja yang dinamis memudahkan talenta terbaik berpindah ke tempat dengan paket gaji dan benefit lebih kompetitif. Selain itu, alasan pribadi—seperti kebutuhan keluarga, studi, atau relokasi—juga sering dikemukakan saat exit interview. HR perlu membedakan apakah penyebab resign benar-benar internal atau murni karena kondisi personal. Menerjemahkan Alasan Resign ke Strategi HR Mendengar alasan resign hanyalah langkah awal; HR dan pemilik bisnis harus bertindak. Tingginya angka resign karena gaji dan apresiasi mengisyaratkan perlunya review paket kompensasi. Data Gallup (75% karena atasan) menegaskan urgensi melatih manajer menjadi pemimpin yang lebih suportif. Berikut beberapa langkah praktis: Tinjau ulang paket gaji dan benefit agar kompetitif dengan pasar. Lakukan survei gaji rutin untuk mengidentifikasi kebutuhan penyesuaian. Rancang peta karier dan program pengembangan untuk setiap karyawan. Jalur promosi yang transparan memberi motivasi agar karyawan melihat masa depan di perusahaan. Bangun budaya kerja positif melalui komunikasi terbuka, program apresiasi, dan penegakan aturan terhadap perilaku toxic. Lingkungan kerja yang sehat meningkatkan loyalitas karyawan. Latih atasan/manajer agar mampu berkomunikasi efektif dan membangun hubungan positif dengan tim. Manajer yang komunikatif lebih cepat menangkap sinyal ketidakpuasan bawahan. Kesimpulan Setiap alasan resign adalah umpan balik gratis bagi perusahaan. Dengan menggali akar masalah di balik jawaban tersebut, HR dapat merancang strategi retensi yang tepat sasaran. Hasilnya, loyalitas tim meningkat dan risiko kehilangan talenta berkurang. Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Berapa UMR Sidoarjo: Fakta Mengejutkan Upah 2025 July 6, 2025/No CommentsRead More Contoh Penilaian Kinerja Karyawan: Strategi Evaluasi yang Adil July 4, 2025/No CommentsRead More Aturan Cuti Karyawan: Hak, UU, dan Praktik HR Modern July 4, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.

Cara Menghitung Pesangon: Panduan Lengkap Sesuai Aturan

cara-menghitung-pesangon

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bukan hanya momen yang emosional bagi karyawan, tetapi juga tantangan administratif bagi perusahaan. Salah satu aspek yang sering menjadi sorotan adalah perhitungan pesangon. Kesalahan dalam menghitung pesangon dapat berujung pada ketidakpuasan karyawan, bahkan potensi masalah hukum. Oleh karena itu, penting bagi setiap pemilik bisnis dan HRD untuk memahami cara menghitung pesangon dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Apa Itu Pesangon? Pesangon adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan yang mengalami PHK.Pembayaran ini bertujuan untuk memberikan kompensasi atas berakhirnya hubungan kerja dan sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi karyawan selama bekerja di perusahaan. Dasar Hukum Penghitungan Pesangon di Indonesia Perhitungan pesangon di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagakerjaanPasal 156 ayat (2) mengatur bahwa karyawan yang di-PHK berhak menerima uang pesangon berdasarkan masa kerja mereka. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan KerjaPasal 40 ayat (2) menyebutkan bahwa pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh karyawan. Cara Menghitung Pesangon Berikut adalah cara menghitung pesangon berdasarkan masa kerja karyawan: 1. Uang Pesangon (UP) Uang pesangon dihitung berdasarkan masa kerja karyawan sebagai berikut: Masa kerja kurang dari 1 tahun: 1 bulan upah Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun: 2 bulan upah Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun: 3 bulan upah Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun: 4 bulan upah Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun: 5 bulan upah Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun: 6 bulan upah Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun: 7 bulan upah Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun: 8 bulan upah Masa kerja 8 tahun atau lebih: 9 bulan upah Contoh: Jika seorang karyawan memiliki masa kerja 3 tahun 6 bulan dan gaji bulanan sebesar Rp5.000.000, maka uang pesangon yang diterima adalah: 3 bulan x Rp5.000.000 = Rp15.000.000 2. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) Uang penghargaan masa kerja diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama minimal 3 tahun. Besaran UPMK berdasarkan masa kerja adalah sebagai berikut: Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun: 2 bulan upah Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun: 3 bulan upah Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun: 4 bulan upah Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun: 5 bulan upah Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun: 6 bulan upah Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun: 7 bulan upah Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun: 8 bulan upah Masa kerja 24 tahun atau lebih: 10 bulan upah Contoh: Jika karyawan tersebut memiliki masa kerja 3 tahun 6 bulan, maka UPMK yang diterima adalah: 2 bulan x Rp5.000.000 = Rp10.000.000 3. Uang Penggantian Hak (UPH) Uang penggantian hak mencakup hak-hak karyawan yang belum diberikan atau belum digunakan selama masa kerja, seperti: Sisa cuti tahunan yang belum diambil Biaya transportasi kembali ke tempat asal Biaya penggantian perumahan dan pengobatan Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama Contoh: Jika karyawan memiliki sisa cuti tahunan sebanyak 5 hari dan gaji harian sebesar Rp200.000, maka UPH untuk sisa cuti adalah: 5 hari x Rp200.000 = Rp1.000.000 Contoh Perhitungan Total Pesangon Berdasarkan contoh sebelumnya, jika karyawan memiliki: Gaji bulanan: Rp5.000.000 Masa kerja: 3 tahun 6 bulan Sisa cuti: 5 hari Maka perhitungan total pesangon adalah: Uang Pesangon: 3 bulan x Rp5.000.000 = Rp15.000.000 Uang Penghargaan Masa Kerja: 2 bulan x Rp5.000.000 = Rp10.000.000 Uang Penggantian Hak (sisa cuti): 5 hari x Rp200.000 = Rp1.000.000 Total Pesangon: Rp15.000.000 + Rp10.000.000 + Rp1.000.000 = Rp26.000.000 Faktor yang Mempengaruhi Besaran Pesangon Selain masa kerja, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besaran pesangon antara lain: Alasan PHK: PHK karena efisiensi atau perusahaan pailit dapat mempengaruhi besaran pesangon yang diterima karyawan. Status Hubungan Kerja: Karyawan dengan status PKWT (Pekerja Kontrak) memiliki perhitungan pesangon yang berbeda dibandingkan dengan karyawan PKWTT (Pekerja Tetap). Kesimpulan Menghitung pesangon dengan benar adalah kewajiban perusahaan dan hak bagi karyawan. Dengan memahami cara perhitungan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, perusahaan dapat memastikan bahwa proses PHK berjalan adil dan sesuai dengan hukum. Bagi karyawan, mengetahui hak-hak mereka dapat membantu dalam perencanaan keuangan pasca PHK. Untuk mempermudah perhitungan pesangon, perusahaan dapat menggunakan aplikasi HRIS atau payroll yang telah dilengkapi dengan fitur perhitungan pesangon otomatis sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Cara Menghitung Upah Harian: Panduan Praktis & Sesuai Aturan June 17, 2025/No CommentsRead More PHK Adalah: Pengertian, Proses, dan Hak Karyawan June 10, 2025/No CommentsRead More Karyawan Kontrak Adalah: Pengertian, Hak, dan Perbedaannya June 10, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.

PHK Adalah: Pengertian, Proses, dan Hak Karyawan

phk-adalah

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu hal yang tidak diinginkan oleh sebagian besar karyawan dan perusahaan. Meskipun begitu, PHK merupakan hal yang dapat terjadi dalam dunia kerja dan menjadi bagian dari dinamika hubungan kerja. Banyak karyawan yang masih belum memahami dengan baik mengenai proses PHK, alasan yang mendasarinya, serta hak-hak yang harus diterima setelah di-PHK. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai PHK, baik dari sisi karyawan maupun perusahaan. Dalam artikel ini, Anda akan menemukan informasi mengenai PHK adalah, alasan terjadinya, hak-hak karyawan yang di-PHK, serta langkah-langkah yang perlu diambil oleh pihak perusahaan dan karyawan. PHK Adalah: Pengertian dan Alasan Terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah pemutusan hubungan antara pekerja dan perusahaan, yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik oleh perusahaan atau oleh karyawan itu sendiri. PHK dapat terjadi karena berbagai alasan dan dilakukan dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh hukum ketenagakerjaan. Pengertian PHK dalam Dunia Kerja Dalam dunia kerja, PHK menjadi keputusan yang diambil oleh perusahaan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan seorang karyawan sebelum masa kontraknya berakhir atau bahkan tanpa adanya perjanjian kerja tertentu. PHK bisa terjadi karena berbagai alasan, baik yang bersifat internal (di dalam perusahaan) maupun eksternal (faktor dari luar perusahaan). PHK yang dilakukan oleh perusahaan bisa dilakukan dengan alasan-alasan tertentu yang sudah diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia, sementara karyawan juga memiliki hak untuk mengundurkan diri atau mengakhiri hubungan kerja secara sukarela. Alasan Terjadinya PHK PHK dapat terjadi karena banyak faktor, baik yang bersifat struktural, ekonomis, maupun perilaku individu. Berikut adalah beberapa alasan umum terjadinya PHK: 1. Kinerja Karyawan yang Tidak Memadai Salah satu alasan PHK yang paling umum adalah kinerja karyawan yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Jika karyawan tidak mampu memenuhi ekspektasi perusahaan meskipun sudah diberikan kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya, perusahaan dapat memutuskan hubungan kerja. 2. Pelanggaran terhadap Aturan Perusahaan Karyawan yang melakukan pelanggaran terhadap aturan perusahaan, seperti ketidakdisiplinan, pencurian, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan kriminal lainnya, bisa dikenakan PHK. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan perusahaan serta lingkungan kerja. 3. Restrukturisasi atau Pengurangan Tenaga Kerja PHK juga bisa terjadi karena faktor-faktor eksternal, seperti restrukturisasi organisasi atau pengurangan tenaga kerja. Hal ini seringkali terjadi saat perusahaan menghadapi kondisi finansial yang buruk, penggabungan perusahaan, atau perubahan dalam strategi perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan mungkin terpaksa melakukan PHK terhadap beberapa karyawan untuk mengurangi biaya operasional. 4. Kehilangan Kepercayaan antara Karyawan dan Manajemen Jika terdapat ketidakharmonisan yang serius antara karyawan dan manajemen, atau jika ada masalah komunikasi yang terus menerus terjadi, perusahaan bisa memutuskan untuk melakukan PHK. Hal ini sering kali terjadi ketika karyawan sudah tidak lagi merasa nyaman bekerja di perusahaan tersebut. 5. Faktor Eksternal (Ekonomi dan Pasar) Faktor eksternal, seperti resesi ekonomi, penurunan permintaan pasar, atau perubahan kebijakan pemerintah, juga dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan PHK. Dalam situasi ekonomi yang buruk, perusahaan mungkin perlu mengurangi jumlah tenaga kerja untuk bertahan. Prosedur PHK yang Harus Diperhatikan PHK tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada prosedur yang harus diikuti oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. Berikut adalah tahapan yang biasanya dilakukan dalam prosedur PHK: 1. Pemberian Peringatan dan Kesempatan Perbaikan Sebelum melakukan PHK, perusahaan biasanya memberikan peringatan tertulis kepada karyawan yang kinerjanya tidak memenuhi standar atau yang melanggar aturan. Peringatan ini memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memperbaiki diri sebelum keputusan PHK diambil. Dalam beberapa kasus, perusahaan akan memberikan waktu perbaikan yang cukup untuk memastikan bahwa masalah tersebut bisa diatasi. 2. Pertemuan atau Konsultasi dengan Karyawan Jika masalah berlanjut, perusahaan akan mengadakan pertemuan atau konsultasi dengan karyawan yang bersangkutan untuk membahas alasan dan kemungkinan solusi. Dalam beberapa situasi, pihak perusahaan dan karyawan bisa berdiskusi untuk mencari penyelesaian lain, seperti pengalihan tugas atau perubahan dalam pekerjaan. 3. Proses Pemutusan Hubungan Kerja Jika tidak ada solusi yang tercapai dan karyawan tetap dianggap tidak memenuhi kriteria perusahaan, perusahaan dapat mengambil langkah untuk memutuskan hubungan kerja. Dalam hal ini, perusahaan wajib memberikan surat pemecatan yang jelas, dengan alasan yang sah, serta tanggal efektif pemecatan. 4. Penyelesaian Administrasi dan Hak-Hak Karyawan Setelah pemecatan dilakukan, perusahaan harus menyelesaikan administrasi yang berkaitan dengan hak-hak karyawan yang di-PHK. Hak-hak ini mencakup pembayaran gaji yang belum dibayar, tunjangan yang masih menjadi hak karyawan, dan pesangon (jika diperlukan), sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hak Karyawan yang Dipecat Meskipun seorang karyawan dipecat, mereka tetap memiliki hak-hak yang perlu dipenuhi oleh perusahaan sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia. Berikut adalah beberapa hak yang dimiliki oleh karyawan yang dipecat: 1. Pesangon dan Uang Penggantian Hak Karyawan yang di-PHK berhak mendapatkan pesangon dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jumlah pesangon ini bergantung pada masa kerja karyawan dan alasan pemecatan. 2. Upah yang Belum Dibayar Karyawan yang dipecat berhak untuk menerima upah yang belum dibayar untuk periode kerja yang telah dilaksanakan, baik itu untuk bulan berjalan atau hak lainnya yang belum diberikan oleh perusahaan. 3. Cuti yang Belum Diambil Jika ada sisa cuti tahunan yang belum diambil oleh karyawan, perusahaan wajib mengganti sisa cuti tersebut dalam bentuk uang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Jaminan Sosial dan Asuransi Karyawan yang di-PHK juga berhak untuk mendapatkan jaminan sosial dan asuransi yang telah dibayarkan oleh perusahaan selama masa kerja mereka. Hak ini bisa mencakup BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Menghadapi PHK Sebagai Karyawan Menghadapi PHK adalah pengalaman yang berat bagi sebagian besar karyawan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil oleh karyawan untuk menghadapi pemecatan dengan lebih baik: 1. Mencari Informasi tentang Hak-Hak Anda Pastikan Anda memahami hak-hak Anda jika dipecat. Pelajari peraturan ketenagakerjaan yang berlaku dan pastikan bahwa perusahaan memenuhi kewajiban mereka untuk memberikan pesangon, tunjangan, dan hak-hak lainnya. 2. Pertimbangkan Pilihan Anda Jika pemecatan tidak dapat dihindari, pertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru yang sesuai dengan keterampilan dan pengalaman Anda. Gunakan waktu yang ada untuk mengembangkan diri, memperbaharui CV, atau mencari peluang yang lebih baik. 3. Konsultasi dengan Pengacara atau Serikat Pekerja Jika Anda merasa pemecatan dilakukan secara tidak adil atau melanggar hak Anda, Anda bisa berkonsultasi dengan pengacara atau serikat pekerja untuk mengetahui langkah-langkah hukum yang bisa diambil. Kesimpulan PHK adalah salah satu hal … Read more