psychehumanus.id

Mengapa Pemimpin Jangan Terobsesi dengan “Leaderboard” dan Mulai Memimpin dari “Core”

Pemimpin

Di tengah laju dunia kerja yang makin gila, di mana setiap orang berlomba-lomba mengejar gelar “pemimpin terbaik,” ada satu rahasia yang sering terabaikan: kepemimpinan sejati tidak dimulai dari luar, melainkan dari dalam diri Anda. Apa Itu “Leaderboard” dan “Core”? Dalam konteks artikel ini, “Leaderboard” adalah metafora untuk semua metrik dan target eksternal yang sering dijadikan tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin. Ini bisa berupa peringkat penjualan, jumlah bawahan, gelar jabatan, atau pencapaian yang hanya terlihat dari luar. Obsesi pada leaderboard mendorong kepemimpinan yang berfokus pada hasil jangka pendek dan seringkali mengabaikan kesejahteraan tim. Sebaliknya, “Core” adalah metafora untuk nilai-nilai inti, prinsip pribadi, dan esensi diri Anda sebagai seorang individu. Memimpin dari core berarti Anda mengambil keputusan dan berinteraksi dengan tim berdasarkan kejujuran, integritas, dan tujuan yang lebih dalam—bukan hanya demi mencapai angka atau peringkat di atas. Krisis Kepemimpinan Saat Ini dan Kenapa Harus Berbeda Di era di mana “burnout” menjadi epidemi, dan Gen Z ramai-ramai mengajukan resign karena merasa tidak nyaman di kantor, paradigma kepemimpinan yang lama sudah tidak relevan lagi. Kita tidak bisa lagi mengandalkan otoritas semata. Menurut studi dari Gallup (2023), hanya sekitar 32% karyawan yang merasa terlibat di tempat kerja, artinya banyak yang merasa tidak terhubung. Fenomena “Quiet Quitting”—karyawan melakukan pekerjaan sebatas yang diminta tanpa inisiatif—menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam memimpin. Mereka mencari makna dan ingin bekerja dengan pemimpin yang autentik dan berorientasi nilai. Lead from the Core: Filosofi Kepemimpinan yang Autentik Buku Lead from the Core karya Jay Steinfeld memaparkan bahwa kepemimpinan yang efektif tidak lagi soal otoritas dari atas, tetapi tentang membangun hubungan yang berdasarkan nilai dan kejujuran. Pemimpin dari core mampu memotivasi dan menginspirasi melalui keaslian mereka. Contoh Nyata: Kepemimpinan dari Core Salah satu pemimpin yang sudah menerapkan prinsip ini adalah Satya Nadella, CEO Microsoft. Ia dikenal berorientasi pada empati, inovasi, dan pertumbuhan pribadi. Saat awal memimpin, ia tidak fokus pada angka semata. Sebaliknya, ia mendorong budaya “pertumbuhan” (growth mindset). Ia secara rutin meminta masukan dari karyawan melalui sesi tanya jawab, bahkan mengakui di depan publik bahwa ia sempat salah mengambil keputusan. Sikap kerentanan ini membangun kepercayaan dan mendorong inovasi. Contoh lainnya adalah Yvon Chouinard, pendiri Patagonia. Ia memimpin dengan nilai keberlanjutan dan keaslian yang sangat kuat. Ia menempatkan misi sosial di depan profit, bahkan pernah memasang iklan kontroversial bertuliskan “Jangan Beli Jaket Ini” di The New York Times pada Black Friday untuk mengajak konsumen berpikir kritis tentang konsumsi berlebihan. Keberhasilannya menunjukkan bahwa memimpin dari core memberi keuntungan jangka panjang karena membangun loyalitas pelanggan dan karyawan yang sangat kuat. 4 Prinsip “E” untuk Memimpin dari “Core” Steinfeld merangkum filosofi ini ke dalam empat prinsip yang ia sebut “Empat E.” Berikut panduan lengkapnya: Evolve Continuously(Berkembang Terus-menerus) Di zaman AI dan otomatisasi, satu-satunya cara agar tetap relevan adalah dengan belajar dan beradaptasi secara terus-menerus. Tips Praktis: Blokir Waktu untuk Belajar: Alokasikan 30 menit setiap hari untuk membaca artikel, menonton video tutorial, atau mendengarkan podcast yang relevan dengan bidang Anda atau tim Anda. Minta Umpan Balik Secara Teratur: Jangan menunggu ulasan kinerja tahunan. Tanyakan kepada tim Anda, “Apa yang bisa saya perbaiki dalam memimpin kalian?” Jadikan umpan balik sebagai peta jalan untuk perbaikan diri. Ikuti Tren: Jangan hanya tahu apa yang sedang tren, tapi coba pahami mengapa tren itu muncul. Misalnya, pelajari mengapa “kerja 4 hari seminggu” menjadi isu penting, dan bagaimana itu bisa memengaruhi produktivitas. Experiment Without Fear of Failure(Bereksperimen Tanpa Takut Gagal) Kegagalan adalah bagian dari proses inovasi. Pemimpin yang berani bereksperimen akan mendapatkan insight baru. Tips Praktis: Rayakan Kegagalan Kecil: Ketika sebuah eksperimen gagal, jangan mencela tim. Sebaliknya, adakan pertemuan singkat untuk membahas apa yang bisa dipelajari dari kegagalan tersebut. Terapkan Prinsip “Fail Fast”: Dorong tim untuk mencoba ide-ide baru dalam skala kecil. Jika gagal, itu tidak akan memakan banyak sumber daya, dan Anda bisa langsung beralih ke ide lain. Buat “Ruang Aman” untuk Ide Gila: Sediakan sesi brainstorming di mana tidak ada ide yang dianggap “bodoh.” Semakin aneh idenya, semakin besar kemungkinan untuk menemukan terobosan. Express Yourself(Ekspresikan Diri) Keterbukaan dan keaslian membangun kepercayaan dan koneksi emosional dalam tim. Pemimpin yang berani menunjukkan kerentanan dan berbagi pengalaman pribadi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi dan penuh empati. Tips Praktis: Bagikan Cerita Pribadi: Ceritakan pengalaman Anda saat menghadapi kesulitan dan bagaimana Anda mengatasinya. Ini membangun koneksi emosional dengan tim Anda. Tunjukkan Antusiasme Anda: Jika Anda menyukai sebuah proyek, tunjukkan itu dengan antusiasme yang tulus. Energi positif sangat menular. Jangan Takut Bertanya: Saat Anda tidak tahu, akui saja. Bertanya, “Bagaimana menurut kalian?” menunjukkan bahwa Anda menghargai pendapat tim dan tidak merasa harus tahu segalanya. Enjoy the Ride(Nikmati Perjalanan) Kepemimpinan yang berorientasi pada hasil harus diimbangi dengan menikmati proses. Mengapresiasi pencapaian kecil dan menjaga semangat selama perjalanan akan membuat tim lebih bahagia dan produktif. Tips Praktis: Rayakan Kemenangan Kecil: Jangan hanya menunggu keberhasilan besar. Rayakan setiap pencapaian, sekecil apa pun. Jadwalkan Waktu untuk Bersenang-senang: Adakan acara tim yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Ini bisa sesederhana makan siang bersama di luar kantor atau sesi bermain game di sore hari. Temukan Makna dalam Pekerjaan: Ajak tim Anda melihat dampak pekerjaan mereka. Contohnya, jika Anda bekerja di perusahaan perangkat lunak, tunjukkan bagaimana produk Anda mempermudah hidup pelanggan. Ini akan meningkatkan rasa bangga dan kepuasan. Mengapa Ini Strategi Bisnis yang Cerdas Perusahaan yang berakar pada nilai otentik memiliki tingkat loyalitas karyawan 40% lebih tinggi dan laba sampai 2x lipat dibandingkan pesaing. Ketika tim merasa dihargai dan terhubung secara emosional, mereka tidak hanya lebih produktif tapi juga inovatif. Mulailah dengan Menemukan Nilai Inti Anda Berhenti mengejar peringkat dan angka semata. Sebaliknya, fokuslah untuk memahami dan memimpin dari nilai-nilai inti Anda sendiri. Terapkan prinsip “Empat E” untuk menginspirasi perubahan yang otentik dan tahan lama, baik bagi Anda maupun tim. Aksi Nyata untuk Anda Refleksikan nilai-nilai apa yang benar-benar Anda pegang. Pilih satu prinsip “Empat E” untuk dipraktikkan minggu ini. Bagikan cerita dan pengalaman Anda dengan tim untuk membangun koneksi yang lebih autentik. Bagaimana Anda memimpin dari core? Atau, siapa pemimpin yang paling menginspirasi Anda dan mengapa? “Siapa pemimpin yang paling mengubah cara Anda melihat dunia kerja? Ceritakan kisahnya—kami ingin mendengar!” Bagikan cerita Anda di kolom komentar di bawah! Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Analisis Jabatan dan Perannya bagi Organisasi September 29, 2025/No CommentsRead More Turnover Karyawan Adalah: Alasan dan Cara Tepat Menurunkan Turnover di Perusahaan September 24, 2025/No CommentsRead More … Read more

Analisis Jabatan dan Perannya bagi Organisasi

Analisis-jabatan-dan-perannya

Organisasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah struktur atau bentuk koordinasi yang spesifik. Sebuah organisasi pada hakikatnya akan selalu mengarahkan diri untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu, sehingga setiap anggota organisasi juga hendaknya mampu berkontribusi atau mengambil peran dalam mencapai tujuan tersebut. Pada organisasi yang bersifat lebih formal (misalnya : perusahaan, LSM, lembaga pemerintahan, partai politik, dsb) pembagian peran atau tanggung jawab ini terwujud melalui terbentuknya divisi, departemen, seksi/section, gugus kerja, serta pembagian peran secara vertikal seperti halnya sebutan staf, supervisor, manajer, general manager, direktur, dan sebagainya. Dengan demikian, organisasi perlu menyelaraskan pembagian tugas/tanggung jawab setiap anggotanya dengan tujuan/sasaran yang ingin dicapai agar dapat mencapai tujuannya secara lebih efektif dan efisien. Proses penyelarasan antara tugas/tanggung jawab anggota organisasi dengan tujuan organisasi dapat dilakukan melalui analisis jabatan (job analysis). Proses analisis jabatan akan mengeksplorasi dan menguraikan tentang detail tugas/tanggung jawab, hubungan interaksi/koordinasi jabatan dengan jabatan lain di dalam organisasi ataupun pihak di luar organisasi, kewenangan, sasaran-sasaran kerja yang harus dicapai, serta kualifikasi yang diperlukan untuk menduduki jabatan tersebut. Proses analisis jabatan dapat melibatkan banyak pihak, mulai dari para pemangku jabatan, atasan langsung, rekan kerja, klien, maupun melibatkan ahli di bidang tersebut (subject matter expert). Dalam pelaksanaanya, perlu diperhatikan bahwa fokus/objek analisis jabatan adalah pada tugas/jabatan (task), dan bukan pada individu pemangku jabatan (person / job holder). Hasil dari proses analisis jabatan umumnya berupa dua dokumen, yaitu : dokumen uraian jabatan/pekerjaan (job description), dan dokumen spesifikasi jabatan (job specification). Analisis jabatan merupakan proses fundamental dalam manajemen sumber daya manusia. Proses dan hasil (output) analisis jabatan menjadi dasar dari mayoritas proses manajemen sumber daya manusia. Pada sisi rekrutmen & seleksi, hasil analisis jabatan menjadi dasar dalam pembuatan iklan lowongan dan aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan seleksi. Pada bidang pelatihan dan pengembangan, hasil analisis jabatan menjadi peta bagi aktivitas pengembangan karyawan, baik dari sisi kemampuan teknis ataupun sikap kerja. Pada sisi remunerasi, hasil analisis jabatan menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam evaluasi jabatan dan penentuan golongan jabatan, yang secara langsung berdampak pada besaran nilai upah pemangku jabatan. Hasil analisis jabatan juga menjadi dasar yang penting dalam penilaian kinerja, manajemen kinerja, serta manajemen karir. Mengingat pentingnya hasil analisis jabatan, maka setiap organisasi hendaknya perlu mempertimbangkan pelaksanaan analisis jabatan secara berkala sebagai bentuk monitoring dan evaluasi atas keselarasan tanggung jawab yang dilaksanakan pemangku jabatan dengan sasaran/tujuan organisasi. Di samping itu, analisis jabatan juga perlu dilakukan ketika organisasi mengalami perubahan strategi bisnis ataupun sasaran/tujuan organisasi, transformasi organisasi, perubahan proses kerja, ataupun persaingan bisnis yang menuntut adanya perubahan-perubahan dalam tanggung jawab maupun kualifikasi dan kemampuan pemangku jabatan. Dengan demikian, diharapkan setiap jabatan yang ada di dalam organisasi memiliki tanggung jawab, kewenangan, dan sasaran kerja yang relevan. Selain itu, organisasi juga akan memiliki pemangku jabatan yang memiliki kapasitas dan kemampuan diperlukan agar dapat memberikan kontribusi optimal terhadap keberlangsungan organisasi. Di sisi lain, job description dan job specification yang tidak selaras dan update dengan kondisi organisasi saat ini, berpotensi memberikan hambatan bagi organisasi dalam melaksanakan aktivitas bisnisnya. Pertama, organisasi akan menjadi kurang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan/sasaran organisasi, baik karena tanggung jawab yang kurang relevan, ataupun pemangku jabatan yang belum memiliki kecakapan yang diperlukan. Kedua, memungkinkan terjadinya tumpang tindih (overlapping) tanggung jawab antar jabatan, sehingga menghambat kelancaran proses bisnis maupun penciptaan nilai (value creation) bagi pelanggan dan organisasi. Ketiga, karyawan berpotensi mengalami stress atau burnout karena tanggung jawab dan kewenangan yang kurang jelas ataupun mengalami kebuntuan dalam karir karena sistem manajemen karir yang belum optimal. Di samping itu, potensi munculnya rasa ketidakadilan karena sistem remunerasi yang belum didasarkan pada evaluasi jabatan yang memadai dan obyektif.   Kelima, program pengembangan dan pembelajaran karyawan menjadi kurang efektif untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi, karena tidak disusun berdasarkan kesenjangan kemampuan yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggung jawab dan sasaran jabatan. Dengan berkembangnya teknologi dan persaingan bisnis pada saat ini, pelaksanaan analisis jabatan tidak lepas dari tantangan. Kebutuhan akan dokumen job description dan job specification yang cepat terkadang membuat tim di departemen SDM/HR tergoda mengambil jalan pintas untuk memanfaatkan akal imitasi (artificial intelligence/AI) dalam penyusunannya. Pemanfaatan AI di satu sisi akan mempercepat proses kerja analisis jabatan maupun dokumen yang diperlukan. Namun, pelaksanaan analisis jabatan yang tidak dilakukan secara komprehensif dan memperhatikan konteks, proses bisnis, dan tujuan/sasaran organisasi akan menghasilkan dokumen job description dan job specification tidak sepenuhnya selaras dengan kondisi pekerjaan ataupun aktivitas kerja pemangku jabatan. Hal ini akan membuat dokumen yang dihasilkan menjadi kurang mampu menjawab tujuang pelaksanaan analisis jabatan, yaitu tentang kontribusi jabatan secara spesifik atas tujuan organisasi, ataupun kapasitas dan kemampuan individu yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Selain pemanfaatan teknologi, tantangan pelaksanaan analisis jabatan datang dari pemangku jabatan selaku informan/responden. Salah satunya adalah terkait persepsi informan/responden saat dilakukannya pengumpulan data. Pada beberapa kesempatan, seringkali responden merasa bahwa diri mereka sedang dinilai oleh analis, sehingga mereka berupaya untuk “menampilkan” diri secara positif, baik dari sisi penjelasan proses kerja, maupun pencapaian-pencapaian yang dimiliki dalam pekerjaan. Bias lain yang berpotensi muncul adalah tentang sudut pandang subyektif informan/responden saat pengambilan data analisis jabatan, sehingga informasi tentang standar-standar kerja, bentuk koordinasi, maupun sasaran kerja dipandang sebatas pemahaman dan pengalaman informan/responden. Situasi ini akan berdampak pada kualitas, keluasan, dan obyektivitas informasi yang diperoleh analis, serta dapat memberikan pengaruh jangka panjang dalam melaksanakan analisis jabatan ataupun saat menyusun dokumen job description dan job specification. Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Turnover Karyawan Adalah: Alasan dan Cara Tepat Menurunkan Turnover di Perusahaan September 24, 2025/No CommentsRead More Motivasi Kerja Karyawan: Strategi Tepat Meningkatkan Kinerja dan Produktivitas Karyawan September 24, 2025/No CommentsRead More Teori Kepemimpinan: Peta Praktis untuk Pemimpin Bisnis Modern September 23, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.