psychehumanus.id

Perhitungan Lembur Karyawan 2025: Rumus, Contoh, dan Kepatuhan UU Cipta Kerja

perhitungan-lembur-karyawan-2025

Bagi pemilik bisnis, HR, dan pimpinan perusahaan, memahami cara menghitung upah lembur secara resmi itu krusial. Selain menjaga keadilan bagi karyawan, kepatuhan pada regulasi menghindarkan perusahaan dari risiko denda dan pidana. Per 28 Agustus 2025 (Asia/Jakarta), ketentuan lembur yang berlaku tetap bersumber dari PP No. 35/2021(turunan UU Cipta Kerja) dan tidak ada perubahan rumus dasar perhitungan upah lembur. 1) Batas lembur & syarat administratif Batas maksimum lembur adalah 4 jam per hari dan 18 jam per minggu, di luar lembur pada hari istirahat mingguan/hari libur resmi. Selain itu, lembur harus atas persetujuan pekerja dan ada perintah tertulis/pendataan pelaksanaan lembur. Ketentuan ini berasal dari PP 35/2021 serta perubahan pada UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja.  Best practice: gunakan SPL (Surat Perintah Lembur) dan daftar pelaksanaan lembur agar setiap jam lembur terdokumentasi rapi dan siap diaudit. 2) Rumus dasar upah lembur (fondasi 1/173) Langkah pertama, tentukan Upah Sejam: Upah sejam = 1/173 × Upah bulanan “Upah bulanan” di sini mengacu pada komponen upah ketenagakerjaan. Jika komponen upah terdiri dari upah pokok + tunjangan tetap → pakai 100% upah. Jika komponen upah terdiri dari pokok + tunjangan tetap + tunjangan tidak tetap dan (pokok+tetap) < 75% total upah → dasar lembur = 75% total upah. Ketentuan ini ada di Pasal 32 PP 35/2021. Catatan implementasi: banyak HRIS/payroll modern juga menjelaskan asal-usul angka 173 sebagai rata-rata jam kerja bulanan untuk sistem 40 jam/minggu. 3) Tarif resmi upah lembur (hari kerja vs hari libur) a) Lembur pada hari kerja biasa Jam ke-1: 1,5 × upah sejam Jam ke-2 dan seterusnya: 2 × upah sejamDasar: Pasal 31 ayat (1) PP 35/2021. b) Lembur pada hari istirahat mingguan/hari libur resmi – skema 6 hari kerja/40 jam Jam 1–7: 2 × upah sejam Jam 8: 3 × upah sejam Jam 9–11: 4 × upah sejamJika libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek (misal Sabtu pada skema 6 hari): Jam 1–5: 2 × upah sejam Jam 6: 3 × upah sejam Jam 7–9: 4 × upah sejam. c) Lembur pada hari istirahat mingguan/hari libur resmi – skema 5 hari kerja/40 jam Jam 1–8: 2 × upah sejam Jam 9: 3 × upah sejam Jam 10–12: 4 × upah sejam. 4) Hak karyawan saat lembur (istirahat & 1.400 kkal) Selain upah lembur, perusahaan wajib: memberi kesempatan istirahat cukup; memberikan makanan & minuman minimal 1.400 kkal jika lembur ≥ 4 jam, dan tidak boleh diganti uang. Ini tertulis jelas di Pasal 29 PP 35/2021. 5) Dua contoh perhitungan yang sering dipakai Contoh 1 – Lembur hari kerja (3 jam) Komposisi upah bulanan: Gaji pokok Rp5.000.000 + tunjangan tetap Rp1.000.000 → Upah = Rp6.000.000 Upah sejam = 1/173 × 6.000.000 ≈ Rp34.682 Tarif lembur: Jam 1 = 1,5 × 34.682 = Rp52.023 Jam 2 = 2 × 34.682 = Rp69.364 Jam 3 = 2 × 34.682 = Rp69.364 Total lembur ≈ Rp190.751 (pembulatan rupiah diperkenankan sesuai kebijakan payroll).Rumus dan tarif merujuk Pasal 32 serta Pasal 31 ayat (1) PP 35/2021. Contoh 2 – Lembur hari libur pada skema 5 hari kerja (10 jam) Upah bulanan: Rp8.000.000 → Upah sejam ≈ 8.000.000/173 ≈ Rp46.243 Tarif lembur (5 hari kerja): Jam 1–8 = 8 × (2 × 46.243) = Rp739.888 Jam 9 = 1 × (3 × 46.243) = Rp138.729 Jam 10 = 1 × (4 × 46.243) = Rp184.972 Total lembur ≈ Rp1.063.589.Tarif sesuai skema libur resmi/istirahat mingguan untuk 5 hari kerja. 6) Sanksi bila perusahaan abai Pertama, tidak membayar upah lembur termasuk pelanggaran. UU Ketenagakerjaan (sebagaimana diubah melalui UU Cipta Kerja/UU 6/2023) memuat ancaman pidana kurungan 1–12 bulan dan/atau denda Rp10–100 juta terhadap pelanggaran terkait kewajiban pembayaran lembur. Selain itu ada sanksi administratif (teguran, pembatasan/penghentian aktivitas usaha, hingga pembekuan) untuk pelanggaran ketentuan dalam PP 35/2021. Kedua, memerintahkan lembur tanpa persetujuan dan melebihi 4 jam/hari atau 18 jam/minggu juga berisiko sanksi. Pastikan persetujuan pekerja terdokumentasi. 7) Checklist implementasi (praktik terbaik HR) Agar kebijakan lembur adil, efisien, dan patuh hukum, lakukan ini secara berurutan: Tautkan lembur ke Job Description & beban kerja (agar lembur bukan “default”). Cek panduan cara membuat job description. Tetapkan KPI & evaluasi kinerja supaya lembur berdampak pada output, bukan jam semata: penilaian kinerja, metode penilaian kinerja, evaluasi kinerja kolaboratif. Kelola kapasitas tim dengan HR Analytics agar overload terdeteksi dini: HR Analytics. Perkuat budaya & kepemimpinan untuk mencegah lembur kronis: budaya organisasi, kepemimpinan, human capital. Bangun pipeline talenta jika lembur bersifat struktural: teknik rekrutmen berbasis data, HRBP, learning & development. Dengan demikian, kebijakan lembur Anda tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan manajemen kinerja, budaya, rekrutmen, dan pengembangan—membuatnya lebih berkelanjutan. Ringkasan: Batas maksimum: 4 jam/hari & 18 jam/minggu (di luar libur/istirahat). Wajib persetujuan pekerja. Rumus dasar: Upah sejam = 1/173 × Upah bulanan; gunakan 100% upah (pokok+tetap) atau 75% jika (pokok+tetap) < 75% dari total upah (ada tunjangan tidak tetap). Tarif hari kerja: 1,5× (jam 1) + 2× (jam 2 dst). Tarif hari libur mengikuti skema 6 hari/5 hari dengan tangga 2×/3×/4×. Kewajiban tambahan: makan & minum ≥ 1.400 kkal jika lembur ≥4 jam, tidak boleh diganti uang. Sanksi: pidana 1–12 bulan dan/atau denda Rp10–100 juta; ada juga sanksi administratif bila melanggar PP. Kesimpulan Pada akhirnya, kunci pengelolaan lembur yang sehat adalah kombinasi antara kepatuhan regulasi dan desain kerja yang cerdas. Gunakan rumus resmi 1/173, terapkan tarif yang tepat untuk hari kerja maupun hari libur, penuhi kebutuhan 1.400 kkal saat lembur ≥4 jam, dan dokumentasikan persetujuan serta SPL dengan disiplin. Di saat yang sama, benahi akar beban kerja lewat HR Analytics, penilaian kinerja, budaya organisasi, dan pengembangan kepemimpinan supaya lembur benar-benar bernilai bisnis, bukan sekadar menambah jam. Bagikan Recent Article All Posts Family Human Capital Leadership Learning and Development Psychology Perbedaan PKWT dan PKWTT: Pilih yang Tepat untuk Bisnis Anda August 29, 2025/No CommentsRead More Perbedaan KPI dan OKR: Cara Memakainya di Perusahaan August 28, 2025/No CommentsRead More Struktur Job Description: Tujuan, Tanggung Jawab, KPI, Kompetensi August 28, 2025/No CommentsRead More Load More End of Content.

Perbedaan PKWT dan PKWTT: Pilih yang Tepat untuk Bisnis Anda

perbedaan-pkwt-dan-pkwtt

Banyak perusahaan masih mencampuradukkan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Padahal, keduanya memiliki tujuan, durasi, konsekuensi, dan biaya yang berbeda. Singkatnya: PKWT cocok untuk pekerjaan berjangka atau selesainya pekerjaan tertentu, sementara PKWTT adalah hubungan kerja tanpa batas waktu (karyawan tetap). Regulasi utama mengenai hal ini termuat dalam PP 35/2021 (aturan pelaksana UU Cipta Kerja) dan pembaruan UU 6/2023. Agar tim Anda tidak salah kaprah, mari kita bedah perbedaan PKWT vs PKWTT, mulai dari definisi, masa percobaan, durasi, hak, hingga kompensasi dan risiko kepatuhan. Selain itu, di sepanjang artikel akan disisipkan tautan internaluntuk pendalaman, misalnya tentang penilaian kinerja, budaya organisasi, dan HR analytics agar praktiknya tetap menyatu ke tata kelola SDM perusahaan. Apa itu PKWT dan PKWTT? PKWT adalah perjanjian kerja berjangka atau berdasar selesainya pekerjaan tertentu. Kerangka PP 35/2021 menegaskan dasar, jenis, jangka waktu, dan kompensasinya. Dengan kata lain, PKWT bukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap atau berkesinambungan, melainkan yang durasinya bisa diperkirakan. PKWTT adalah perjanjian kerja tanpa batas waktu (karyawan tetap). Definisi ringkas ini bersumber dari PP 35/2021 dan berbagai penjelasan praktik.  Catatan penting: jika PKWT disusun tidak memenuhi ketentuan, statusnya dapat berubah demi hukummenjadi PKWTT—yang tentu berdampak ke biaya dan kewajiban perusahaan. Untuk mengaitkannya ke sistem manajemen kinerja dan kepemimpinan, Anda bisa membaca: metode penilaian kinerja, evaluasi kinerja kolaboratif, dan kepemimpinan kolaboratif. Masa percobaan (probation): boleh di PKWT? Tidak. Masa percobaan dilarang untuk PKWT. Sebaliknya, probation hanya boleh untuk PKWTT dengan durasi maksimal 3 bulan sebagaimana diatur di rezim UU Ketenagakerjaan/PP 35/2021 dan dijelaskan ulang oleh berbagai rujukan hukum tepercaya.  Dengan demikian, jika Anda menemukan klausul probation di kontrak PKWT, sebaiknya ditinjau ulang. Selain berisiko cacat hukum, hal itu dapat memicu sengketa hubungan industrial. Di sisi lain, untuk PKWTT, pastikan masa probation tertulis jelas, tujuannya objektif, dan evaluasinya terukur, sambil tetap mematuhi ketentuan upah minimum selama masa percobaan. Untuk memperkuat perilaku manajerial selama probation, rujuk: coaching, learning & development, dan kunci kepemimpinan. Jangka waktu & perpanjangan: berapa lama PKWT bisa berlangsung? Di bawah PP 35/2021, PKWT berdasarkan jangka waktu dapat dibuat paling lama 5 (lima) tahun termasuk perpanjangannya. Artinya, kontrak dapat diperpanjang selama akumulasi total tidak melampaui 5 tahun. Jika pekerjaan belum selesai, perpanjangan dimungkinkan, asalkan total durasi tetap dalam ambang tersebut. Penegasan ini berulang kali disampaikan dalam ringkasan resmi dan penjelasan ahli. Sebaliknya, PKWTT tidak dibatasi waktu. Status hubungan kerja berlangsung hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sah sesuai prosedur. Karena itu, sejak awal perusahaan perlu memikirkan governance kinerja, struktur gaji, dan jalur karier untuk karyawan tetap. Lihat: cara menyusun pengembangan karir dan cara membuat job description. Hak, cuti, dan BPJS: apa bedanya? Secara prinsip, pekerja berhak atas perlindungan normatif (jam kerja, upah, BPJS, dan cuti). Cuti tahunan paling sedikit 12 hari setelah 12 bulan bekerja secara terus-menerus, yang berlaku bagi PKWTT dan PKWT sepanjang memenuhi syarat masa kerja (atau pro rata bila disepakati). Ketentuan ini diulas konsisten oleh beberapa rujukan praktik. Namun, dalam praktik, pemenuhan hak cuti bagi PKWT sering dirumuskan proporsional sesuai masa kerja aktual dan ketentuan internal. Oleh karena itu, pastikan klausul cuti di PKWT tertulis dengan jelas agar tidak menimbulkan tafsir. Untuk memperkuat budaya eksekusi sehari-hari, silakan dalami: budaya organisasi dan kepemimpinan & budaya organisasi. Uang kompensasi vs pesangon: ini yang sering keliru PKWT: ketika PKWT berakhir (atau salah satu pihak mengakhiri sebelum waktunya), pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang dihitung proporsional dengan rumus masa kerja/12 × 1 bulan upah. Ketentuan ini bersumber dari UU Cipta Kerja (sebagaimana diubah UU 6/2023) serta aturan teknis di PP 35/2021. PKWTT: pekerja yang di-PHK berhak atas paket PHK (pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak) sesuai ketentuan alasan PHK dan masa kerja. Ini berbeda esensi dengan kompensasi di PKWT. Rumus kompensasi PKWT bukan pesangon; ia hanya kompensasi atas berakhirnya perjanjian waktu tertentu. Pastikan tim payroll memahami momen pembayarannya—misalnya, jika PKWT diperpanjang, kompensasi dibayarkan ketika periode sebelum perpanjangan berakhir. Untuk aspek tata kelola biaya tenaga kerja dan metrik SDM, simak: HR analytics dan evaluasi kinerja kolaboratif. Risiko kepatuhan: kapan PKWT berubah jadi PKWTT? Apabila ketentuan PKWT dilanggar, misalnya pekerjaan sebenarnya bersifat tetap, ada masa percobaan yang diselipkan, atau kontrak melebihi 5 tahun, statusnya bisa berubah demi hukum menjadi PKWTT. Konsekuensinya, perusahaan menanggung kewajiban layaknya karyawan tetap (termasuk ketika terjadi PHK). Oleh sebab itu, selain menyusun klausul kontrak dengan hati-hati, lakukan audit kontrak secara berkala. Sebagai penguat praktik, silakan baca: peran HR sebagai mitra strategis, apa itu HRBP, dan proses rekrutmen efektif. PKWT vs PKWTT: ringkasan perbedaan praktis Fungsi utama PKWT: fleksibilitas untuk pekerjaan berjangka atau sekali selesai. PKWTT: kontinuitas dan pengembangan jangka panjang. Durasi PKWT: total maksimal 5 tahun (termasuk perpanjangan). PKWTT: tanpa batas waktu. Probation PKWT: dilarang. PKWTT: boleh, maks. 3 bulan, wajib tertulis. Akhir hubungan kerja PKWT: kompensasi (pro rata) saat berakhir. PKWTT: paket PHK (pesangon dkk.) sesuai alasan dan masa kerja. Risiko salah pakai PKWT: jika salah kaprah (pekerjaan tetap, probation, durasi >5 tahun), bisa otomatis jadi PKWTT. PKWTT: perlu tata kelola kinerja, biaya, dan karier yang konsisten. Kapan perusahaan sebaiknya memilih PKWT? Pilih PKWT ketika: Ada proyek berjangka dengan luaran terdefinisi; 2) Pekerjaan musiman atau terkait peluncuran produk; 3) Ketika model bisnis butuh uji coba peran yang durasinya bisa diprediksi. Namun, hindari PKWT untuk fungsi inti & berkesinambungan (misalnya, core operations harian) karena berisiko dianggap PKWTT secara hukum. Di sisi lain, pilih PKWTT saat perusahaan memerlukan stabilitas kemampuan dan investasi jangka panjang dalam pengembangan kompetensi. Agar keputusan ini menyatu dengan strategi manusia, gunakan kerangka seperti job description, person–job fit, L&D, hingga strategi rekrutmen. Contoh kasus singkat (ilustrasi) Skenario: startup logistik memerlukan 150 pekerja untuk peak season 4–6 bulan. Pilihan logis: PKWT berbasis jangka waktu sesuai durasi puncak. Catatan: pastikan tanpa probation, cantumkan cuti/istirahat sesuai ketentuan, dan siapkan perhitungan kompensasi pro rata menjelang akhir kontrak. Skenario: perusahaan manufaktur membuka divisi baru permanen (continuous operation). Pilihan logis: PKWTT untuk menjaga retensi kemampuan dan know-how. Catatan: rancang KPI dan program onboarding agar waktu ramp-up singkat, lalu jalankan coaching serta L&Dberkala. Lihat: penilaian kinerja, coaching, learning & development. Penutup Pada akhirnya, PKWT dan PKWTT bukan soal mana yang lebih “murah”, … Read more