psychehumanus.id

Mengapa Cemas Berlebih? Menelisik Penyebab Tak Terduga

Di tengah malam, Budi—seorang manajer HR di perusahaan teknologi—terbangun dengan jantung berdegup kencang. Esok hari ia harus presentasi kepada jajaran direksi, tapi bayangan kegagalan terus menghantuinya. Kisah seperti Budi sering terjadi; kecemasan yang awalnya wajar kemudian membengkak tanpa henti. Lalu, mengapa rasa cemas bisa menjadi berlebihan dan sulit dikendalikan?

Mengenal Kecemasan Berlebih

Kecemasan sebenarnya adalah reaksi alami tubuh saat menghadapi situasi menegangkan atau ancaman. Misalnya, sedikit grogi sebelum wawancara kerja atau ujian sering kali muncul. Namun jika rasa cemas muncul terus-menerus tanpa alasan yang jelas dan sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, inilah yang disebut gangguan kecemasan. Para ahli menjelaskan bahwa kecemasan wajar adalah respons terhadap ancaman nyata; ia menjadi berlebihan jika terjadi tanpa sebab atau tidak sebanding dengan situasi.

Statistik menunjukkan gangguan kecemasan sangat umum. Riskesdas 2024 melaporkan 16% penduduk Indonesia mengalami gangguan kecemasan (naik dari 9,8% pada 2018). Hal ini mencerminkan semakin banyak orang dewasa merasa ‘dihantui’ kecemasan setiap hari. Berbagai hal dapat memicu kecemasan normal: misalnya menghadapi presentasi penting, menyiapkan penilaian kerja, atau khawatir soal keuangan. Namun ketika kekhawatiran sehari-hari berubah menjadi beban mental yang tak kunjung reda, itulah saatnya mewaspadai kecemasan berlebih.

Faktor Bawaan: Genetik dan Neuro-Kimia

Genetik dan Kimia Otak

Beberapa orang tampaknya “terlahir” lebih rentan cemas. Penelitian memperkirakan sekitar 30–40% variasi gangguan kecemasan dipengaruhi faktor genetik. Jika keluarga dekat punya riwayat kecemasan, risiko keturunan meningkat. Gen tertentu di otak mengatur zat kimia bahagia seperti serotonin dan noradrenalin; ketidakseimbangan zat-zat ini membuat otak sebagian orang ekstra waspada terhadap stres. Sederhananya, komposisi gen dan neurokimia ini meletakkan fondasi biologis: bagi sebagian orang, ambang ‘alarm’ kecemasan sudah lebih rendah saat lahir.

Adrenalin dan Respon Stres

Ketika stres melanda, tubuh melepaskan hormon “siaga” (adrenalin dan kortisol) agar kita siap merespons bahaya. Dalam dosis wajar, hormon ini membantu kita fokus. Namun pada individu tertentu, reaksi ini berlebihan. Psikolog UGM Sutarimah Ampuni menjelaskan bahwa beberapa orang secara genetik melepaskan adrenalin berlebih saat menghadapi penilaian, sehingga timbul kecemasan yang ekstrem. Akibatnya, detak jantung cepat dan kegugupan pun muncul meski secara objektif tak ada bahaya nyata. Dengan kata lain, sistem alarm tubuh yang normal berubah menjadi ‘alarm palsu’ yang sulit dimatikan.

Pikiran dan Pengalaman Pribadi

Perfeksionisme dan Pikiran Negatif

Pikiran kita sendiri sering menambah bumbu kecemasan. Orang perfeksionis cenderung membesar-besarkan kekurangan diri dan takut gagal. Pola pikir negatif berulang—misalnya terus membayangkan skenario terburuk—dapat menjadi lingkaran setan. Penelitian memperlihatkan stres berkepanjangan membuat otak kita terpaku pada bahaya. Saat stres aktif, otak fokus pada ancaman (bahkan yang remeh), hingga kita sulit melepaskan diri dari rasa takut. Dengan pola pikir seperti itu, satu kekhawatiran memicu kekhawatiran lainnya tanpa henti.

Trauma dan Pengalaman Masa Lalu

Pengalaman traumatis juga memperkuat kecemasan berlebihan. Seseorang yang pernah mengalami kekerasan rumah tangga, bullying, atau pelecehan cenderung merasa selalu terancam, karena otaknya “terlatih” melihat bahaya di mana-mana. Masalah hidup berat lain—konflik keluarga, beban ekonomi, atau tekanan pekerjaan yang tinggi—juga terbukti menjadi pemicu stres serius. Singkatnya, siapa pun yang membawa luka lama atau masalah besar akan lebih mudah cemas, karena setiap situasi sulit memicu ingatan dan respons takut sebelumnya.

Tanda Kecemasan Berlebihan

Gejala Fisik

Perhatikan bagaimana tubuh bereaksi: kecemasan yang berlebihan biasanya disertai gejala fisik. Detak jantung yang sangat cepat, napas tersengal, tangan gemetar, kepala pusing, mual, atau nyeri perut sering muncul tanpa sebab medis jelas. Banyak orang dengan kecemasan berat juga sulit tidur atau kerap terbangun dini hari karena rasa takut. Jika gejala fisik ini terjadi rutin, bahkan ketika kita berada di tempat aman, itu artinya tubuh terus bekerja keras menghadapi ancaman yang sebenarnya hanya ada dalam pikiran.

Gejala Emosional

Dari sisi emosional, kecemasan berlebihan tampak dalam pikiran dan perasaan. Orang yang cemas parah sering merasa gelisah hampir setiap hari, selalu khawatir, dan sulit berkonsentrasi. Mereka mudah tersinggung dan merasa lelah batin. Halodoc mencatat bahwa gangguan kecemasan ditandai oleh perasaan cemas berlebihan tanpa alasan jelas yang mengganggu kegiatan sehari-hari. Jika hampir setiap malam Anda terbangun dengan tangan berkeringat karena kecemasan, dan keesokan paginya sudah terganggu oleh kekhawatiran kecil, mungkin kecemasan itu telah melewati batas normal.

Mengelola Kecemasan Berlebih

Setelah memahami penyebabnya, langkah berikutnya adalah belajar mengendalikannya. Persiapan matang dapat membantu menurunkan kecemasan: misalnya, berlatih presentasi jauh-jauh hari, atau memecah tugas besar menjadi langkah kecil agar tidak kewalahan. Teknik relaksasi sederhana—seperti bernapas dalam, meditasi singkat, atau olahraga ringan—juga efektif menurunkan hormon stres. Dukungan teman, keluarga, atau profesional kesehatan mental penting agar kekhawatiran tidak membengkak sendirian. Sebagai HR maupun individu, kita bisa membangun lingkungan yang mendukung (misalnya, budaya kerja dengan istirahat cukup dan komunikasi terbuka) untuk mencegah kecemasan meningkat.

Kisah Budi dan banyak orang lainnya menunjukkan bahwa cemas berlebih bersumber dari interaksi faktor fisik dan psikologis. Dengan mengenali “mengapa” di balik rasa takut yang berlebihan, kita bisa mengambil langkah pertama mengembalikan kendali.

Bagikan

Recent Article