
Sebagai seorang corporate coach yang telah mendampingi BoD (Board of Directors) dan tim mereka, saya telah menyaksikan langsung bagaimana dinamika resign karyawan bisa menguras energi dan mengganggu stabilitas bisnis.
Saya ingat betul salah satu klien saya, sebut saja Bu Karina, pemilik bisnis yang mengajak saya diskusi mengenai kondisi timnya. Bu Karina menerima informasi pengunduran diri mulai dari karyawannya ,HRD dan juga leadersnya. Beliau sadar bahwa karyawannya adalah tulang punggung perusahaannya. Panik, stres, dan sedikit rasa dikhianati bercampur jadi satu.
Dampaknya tidak main-main: pencapaian target-target penting tertunda, tim yang tersisa kehilangan arah, dan moral karyawan anjlok. Kisah Bu Karina ini bukan yang pertama, dan sayangnya, bukan yang terakhir. Banyak pemilik bisnis merasakan hal serupa. Namun, dari pengalaman mendampingi mereka, saya menyadari ada strategi jitu yang bisa diterapkan untuk menghadapi resign karyawan, bahkan mengubahnya menjadi peluang.
Sebelum berbicara tentang strategi, kita perlu memahami mengapa karyawan memutuskan untuk resign. Data dari berbagai riset menunjukkan beberapa alasan utama. Sebuah survei dari Gallup pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa 52% karyawan yang resign sebenarnya bisa dicegah. Alasan utamanya seringkali bukan hanya soal gaji. Beberapa hal ini adalah rangkuman dari alasan mengapa turn over suatu perusahaan terbilang tinggi (lebih dari 10%). Dan ini rangkuman yang saya peroleh dari studi pendampingan yang saya lakukan, antara lain:
Karyawan, terutama generasi muda, haus akan kesempatan untuk terus belajar dan bertumbuh. Jika perusahaan tidak menawarkan jalur karir yang jelas atau program pengembangan, mereka akan mencari di tempat lain.
Studi dari Robert Half International (2022) menunjukkan bahwa 75% karyawan yang resign melakukannya karena atasan mereka. Konflik, kurangnya dukungan, atau micromanagement dari atasan bahkan BoD bisa menjadi pemicu utama.
Budaya kerja yang menuntut karyawan bekerja di luar batas wajar tanpa apresiasi yang sepadan akan menyebabkan burnout dan keinginan untuk keluar.
Meskipun bukan satu-satunya, kompensasi yang tidak sepadan dengan tanggung jawab atau standar pasar tentu menjadi pertimbangan besar.
Karyawan ingin merasa dihargai atas kontribusi mereka. Kurangnya pengakuan bisa membuat mereka merasa tidak termotivasi dan mencari lingkungan yang lebih menghargai.
Ketika nilai-nilai pribadi karyawan tidak selaras dengan nilai-nilai perusahaan, mereka cenderung merasa tidak nyaman dan mencari tempat yang lebih sesuai.
Memahami faktor-faktor ini adalah langkah pertama untuk membangun strategi yang efektif. Ini bukan hanya tentang mencegah resign, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang positif dan berkelanjutan. Coba pahami apa yang terjadi pada perusahaan Anda? ISI FORM bonus form penilaian mandiri**
Setelah memahami akar masalah, sekarang saatnya kita membahas strategi jitu yang terbukti efektif dalam meminimalkan dampak negatif dari resign karyawan dan bahkan mempertahankan talenta kunci.
Ini adalah fondasi utama. Budaya yang kuat akan menjadi magnet bagi talenta dan penahan bagi mereka yang berpikir untuk pergi.
Pastikan setiap karyawan memahami dan meresapi visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Komunikasikan secara berulang dan terapkan dalam setiap aspek pekerjaan. Banyak perusahaan yang punya visi, misi dan nilai perusahaan, namun tidak banyak yang mewujudkannya dalam kesehariannya.
Bangun komunikasi dua arah yang jujur antara manajemen dan karyawan. Buka ruang untuk feedback dan keluhan tanpa takut adanya konsekuensi negatif.
Jangan menunggu momen besar untuk memberikan apresiasi. Pengakuan kecil sehari-hari, pujian atas kerja keras, atau bonus kecil bisa sangat berarti. Menurut studi dari Workhuman (2023), perusahaan yang memiliki program pengakuan yang kuat cenderung memiliki turnover karyawan 31% lebih rendah.
Dorong karyawan untuk menjaga work-life balance. Berikan fleksibilitas, hindari tuntutan kerja di luar jam kantor yang tidak perlu, dan fasilitasi program kesehatan mental.
Karyawan yang merasa stagnan adalah karyawan yang rentan resign.
Sediakan anggaran dan waktu untuk pelatihan yang relevan, seminar, atau kursus online. Ini menunjukkan bahwa perusahaan peduli terhadap pertumbuhan mereka.
Buat dan komunikasikan dengan jelas jalur karir yang bisa ditempuh oleh setiap karyawan. Apa saja kualifikasi yang dibutuhkan untuk naik ke posisi berikutnya? Bagaimana perusahaan akan mendukung mereka?
Dorong senior untuk menjadi mentor bagi junior. Program coaching individu juga sangat efektif dalam membantu karyawan mengidentifikasi tujuan karir mereka dan mencapai potensi maksimal.
Jangan menunggu ada masalah baru bertindak.
Jadwalkan pertemuan rutin antara atasan dan bawahan untuk membahas progres kerja, tantangan, dan aspirasi karir. Ini juga kesempatan untuk mendeteksi dini potensi ketidakpuasan.
Lakukan survei secara berkala untuk mendapatkan feedback jujur tentang kondisi kerja, manajemen, dan hal-hal lain yang bisa diperbaiki. Tinjau hasilnya dan ambil tindakan nyata.
Berbeda dengan exit interview, stay interview dilakukan saat karyawan masih bekerja untuk memahami apa yang membuat mereka bertahan dan apa yang bisa membuat mereka pergi. Ini adalah alat proaktif yang sangat kuat.
Meskipun semua upaya telah dilakukan, resign karyawan tetap bisa terjadi. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya.
Identifikasi posisi-posisi kunci di perusahaan dan siapkan talent poolinternal yang siap menggantikan jika terjadi resign.
Dokumentasikan proses kerja, SOP, dan pengetahuan penting lainnya. Lakukan cross-training agar tidak ada ketergantungan pada satu individu saja. Ketika seorang karyawan resign, pastikan ada proses handover yang terstruktur.
Meskipun karyawan resign, mereka bisa menjadi boomerang employee (kembali bekerja di kemudian hari) atau menjadi advocate bagi perusahaan Anda. Jaga hubungan baik setelah mereka pergi.
Ubah exit interview menjadi sesi pembelajaran. Dengarkan dengan empati tanpa defensif. Tanyakan apa yang bisa ditingkatkan perusahaan, bukan hanya mengapa mereka pergi.
Pertimbangkan untuk memberikan bonus retensi (sering disebut stay bonus) kepada karyawan kunci yang Anda ingin pertahankan, terutama jika ada tawaran dari perusahaan lain.
Pikirkan perjalanan karyawan dari mulai onboarding hingga offboarding. Setiap sentuhan harus positif dan mendukung.
Berikan karyawan ruang untuk bereksperimen, membuat keputusan, dan memiliki kepemilikan atas pekerjaan mereka. Ini meningkatkan engagement dan rasa memiliki.
Menghadapi resign karyawan adalah bagian tak terhindarkan dari dinamika bisnis. Namun, dengan strategi yang tepat, Anda tidak perlu panik. Ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi, beradaptasi, dan membangun perusahaan yang lebih tangguh dan menarik bagi talenta terbaik. Dari pengalaman saya mendampingi para pemimpin bisnis, perusahaan yang proaktif dalam membangun budaya positif, berinvestasi pada pengembangan karyawan, dan memiliki rencana suksesi yang matang adalah perusahaan yang paling siap menghadapi tantangan ini dan keluar sebagai pemenang. Jangan biarkan resign karyawan menjadi krisis, melainkan jadikan sebagai katalisator untuk pertumbuhan dan perbaikan.
Apakah Anda ingin memahami lebih dalam bagaimana menerapkan strategi ini di perusahaan Anda? Atau mungkin Anda membutuhkan panduan personal untuk membangun tim yang solid dan tahan banting? Jangan ragu untuk menghubungi kami. Mari kita diskusikan bagaimana corporate coaching dapat membantu bisnis Anda menghadapi tantangan resign karyawan dan mempertahankan talenta terbaik Anda!
