
Pernah merasa stuck dalam rutinitas kerja? atau memutuskan resign tapi ragu mau mulai dari mana? Resign adalah langkah besar yang patut dipahami dengan teliti—bukan sekadar “keluar kerja”, tapi sebuah proses karier yang butuh strategi matang. Artikel ini hadir untuk HR, pemilik bisnis, dan praktisi SDM untuk menangkap inti resign dari perspektif manusia dan organisasi: alasan, efek, hingga cara mengajukannya dengan mulus.
Secara sederhana, resign adalah tindakan karyawan mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan saat ini. Itu bukan cuma pintu keluar, tetapi juga langkah strategis menuju arah baru—entah karier, kesehatan, atau kehidupan.
Alasan resign melampaui rutinitas. Beberapa faktor dominan berdasarkan penelitian kualitatif di perusahaan BPO dan HR blog:
Karier yang stagnan atau tidak berkembang (Fairness & Growth)
Tawaran pekerjaan baru (faktor utama ~46% pada studi BPO semarang tahun 2020)
Alasan keluarga & kesehatan (masalah kesehatan 7%, kepentingan keluarga 39% dalam studi)
Ingin berwirausaha (~7% pada studi sama)
Tambahan, budaya organisasi, apresiasi, beban kerja juga sering muncul sebagai pemicu resign.
Karyawan: bisa meraih kepuasan (job-fit), menurunkan stress, membuka peluang karier.
Perusahaan: harus siap kehilangan aset (skill, knowledge), biaya rekrut, risiko knowledge drain.
Menariknya, resign bukan hanya permasalahan “orang mau keluar”, tapi juga sinyal bagi HR tentang manajemen SDM dan budaya kerja.
Berikut alur praktikal yang ramah HR dan beretika:
Pilih timing tepat — beri tahu minimal 30 hari sebelumnya
Sampaian niat langsung ke atasan — jujur dan profesional.
Siapkan surat pengunduran diri resmi — termasuk tanggal efektif.
Bantu transisi tugas — transfer knowledge & training pengganti.
Pamit secara baik — tinggalkan relasi positif, bisa berdampak pada reputasi.
Di bawah UU Ketenagakerjaan dan PP PKWT-PHK, resign adalah bentuk PHK oleh karyawan yang mengajukan permohonan tertulis selambat‑lambatnya 30 hari sebelumnya.
Perusahaan wajib memproses dengan mengakhiri hubungan kerja sesuai ketentuan, bukan memaksa karyawan resign dalam kondisi tekanan—itu ilegal.
Studi Talenta (2022) melaporkan fenomena resign massal (great resignation)—sebuah tren global di mana banyak karyawan ninggalin pekerjaan karena kultur, manajemen, dan pandemi.
Di satu studi BPO Semarang: 46% resign karena kerja baru, 39% karena keluarga, 7% karena kesehatan, 7% karena wirausaha.
Resign adalah keputusan strategis, bukan sekadar “keluar kantor”. Dari perspektif SDM dan HR, ini momentum untuk evaluasi:
Apa yang membuat talent bergerak?: gaji, karier, budaya.
Bagaimana menjaga transisi yang smooth?: komunikasi, kompensasi, exit interview.
Bagaimana mencegah tren resign massal?: engagement, fleksibilitas, kesejahteraan, jalur karier jelas.
Bangun sistem retensi: jalur karier, upskilling, gamification.
Lakukan exit interview, survei kepuasan secara berkala.
Kembangkan program backing karyawan untuk bisnis sampingan, studi, cuti.