
Bayangkan Anda ingin membuka hati, namun rasa curiga datang lebih dulu—itulah trust issue. Masalah ini bukan sekadar rasa tak percaya biasa, tapi luka batin yang memengaruhi hubungan, prestasi, dan kesejahteraan emosional. Banyak orang mengalami trust issue tanpa menyadarinya; mereka kehilangan peluang untuk terhubung dalam keluarga, pertemanan, dan dunia profesional. Kali ini, kita akan mengupas tuntas “Apa itu trust issue”: dari pengertiannya, gejala, penyebab, dampak, hingga bagaimana Anda bisa mengatasinya dengan pendekatan personal dan profesional.
Trust issue terjadi saat seseorang merasa tak aman untuk percaya sepenuhnya—baik pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut Berkeley Wellbeing, kepercayaan adalah rasa aman untuk bersikap rentan, namun seseorang dengan trust issue meragukan kemampuan dan niat orang lain untuk memenuhi emosinya atau malah menyakitinya dengan sengaja. Dalam psikologi, hal ini berkaitan erat dengan gaya keterikatan (attachment style). Orang dengan gaya cemas seringkali mengalami trust issue lebih berat, meski tidak selalu berlaku bagi semua orang.
Banyak yang melewati trust issue hanya dengan bilang “belajar percaya lagi”. Tapi ini bukan soal sekadar membuka diri. Trust issue terbentuk secara kompleks: pengalaman masa lalu, trauma emosional, bahkan budaya vokasi bisa memicu kebiasaan curiga.
Seseorang yang mengalami trust issue akan menunjukkan tanda-tanda yang khas:
Mudah mencurigai, bahkan hal sepele bisa disambut skeptis.
Takut membuka diri, meski pada orang dekat.
Menghindari keintiman, karena takut disakiti lagi.
Butuh bukti berlebihan, tidak cukup dengan kata-kata.
Selalu waspada, seperti memantau setiap gerak dan kata rekan.
Menurut Psychcentral, istilah “trust issues” seringkali digunakan untuk penilaian perilaku yang menunjukkan ketidakpercayaan kronis, terutama dalam hubungan emosional atau romantis.
Kenali bahwa trust issue bukan sekadar “mbok yo dipercaya” — ia lebih dalam. Itu adalah benteng psikologis yang dibangun karena takut terluka lagi, sehingga merugikan hubungan yang sehat.
Kesendirian emosional: sulit benar-benar merasakan kedekatan.
Stres dan kecemasan: pikiran dipenuhi curiga dan overthinking.
Kesulitan mempercayai diri sendiri: apalagi memverifikasi niat baik orang lain.
Retensi emosi negatif seperti marah atau kecewa berkepanjangan.
Organisasi menderita saat anggota tim punya trust issue:
Kolaborasi menurun, ide tidak mengalir.
Team fair tidak stabil, bahkan muncul sabotase atau konflik internal.
Produktivitas berkurang, karena bekerja dalam suasana takut salah.
Turnover meningkat, karena karyawan merasa tak aman dan tidak dihargai.
Artikel Deloitte menyebut banyak organisasi berada dalam “trust deficit”, memicu ulang proses struktur dan budaya kerja demi memperbaiki fondasi kepercayaan. SHRM juga mengaitkan langsung kurangnya trust dengan menurunnya engagement dan retensi karyawan.
Saat trust issue diperlihatkan terlalu jelas, perusahaan bisa kehilangan talenta terbaik — mereka memilih resign karena stres dan traumatis di lingkungan kerja.
Mulailah dengan menyelami luka lama. Tanyakan: masa lalu mana yang menyebabkan Anda sulit percaya? Bisa jadi pengalaman kecil, seperti sering digantungkan janji guru, atau trauma besar seperti dikhianati pasangan—dijelaskan lewat konsep betrayal trauma sebagai luka dari orang yang dekat.
Terapi kognitif (CBT) sangat efektif mengubah pola buruk: rasa curigamu diganti dengan bukti yang objektif.
Terapi pasangan atau kelompok membantu memperbaiki dinamika hubungan.
Peningkatan self-trust: pegang janji kecil pada diri sendiri agar percaya kembali ke kemampuanmu sendiri.
PsychCentral menyebut bahwa trust issue adalah kombinasi antara pikiran dan gaya keterikatan—sangat bisa diperbaiki dengan kesadaran dan perbaikan pola komunikasi.
Metafora: trust adalah pohon. Tidak bisa langsung berbuah, tetapi tanam dari biji kecil (keyakinan kecil), siram dengan bukti, dan panen ketika ia tumbuh jadi tebal dan kuat.
Sebagai orang yang mengalami trust issue, Anda tidak sendirian. Psikolog memiliki alat dan teknik untuk membantu:
Skill building: belajar asertif, autentik, dan menyuarakan keraguan dengan sehat.
Latihan gradual trust: mulai dari hal kecil (troli belanja, pinjam buku) hingga besar (bagi rahasia).
Pencatatan kemajuan: melalui journaling agar pola lama terukur dan sehat.
Bayangkan jika Anda berhasil melewati trust issue: hubungan jadi lebih hangat; rekan kerja lebih terbuka; suasana hati pun jadi ringan.
HR dan pimpinan dapat menciptakan lingkungan yang mengurangi trust issue:
Budaya transparansi: beri alasan setiap keputusan, bukan sekadar pengumuman.
Manajemen empatik: pelatihan keterampilan peran pemimpin agar bisa peka terhadap masalah trust.
Pshychological safety: buat iklim kerja di mana karyawan bisa bersuara tanpa takut dihukum.
Pendekatan Trauma-informed saat terjadi konflik atau stress ekstrem-dengan cepat memberikan konseling dan dukungan.
Deloitte menekankan bahwa perusahaan perlu menjadikan trust sebagai prioritas strategis, dengan indikator trust dan manajer yang bertanggung jawab penuh.
Dengan membangun organisasi yang aman dan saling menghargai, risiko trust issue menurun, engagement naik, dan turnover mereda.
Audit internal: survei anonim untuk melihat trust gap.
Pelatihan komunikasi untuk pemimpin.
Mekanisme feedback dua arah: open-door policy, forum Q&A rutin.
Evaluasi hasil: pantau hasil survei engagement, exit interview, dan turnover rate.
Penelitian dari P&M di Pakistan menunjukkan hubungan langsung antara trust di manajer dengan engagement karyawan—karyawan merasa sebagai bagian organisasi jika dipercaya oleh atasan mereka.
Trust issue bisa jadi hambatan besar dalam kehidupan dan karier. Namun, ia bukan hal yang mustahil untuk diatasi. Individu bisa belajar mempercayai lagi; organisasi harus mendukung lewat budaya transparan dan pemimpin yang empatik. Dengan pendekatan pribadi dan profesional yang terpadu, trust issue dapat diubah menjadi kesempatan tumbuh: hubungan lebih sehat, engagement meningkat, dan suasana kerja lebih produktif.