psychehumanus.id

Aturan Cuti Karyawan: Hak, UU, dan Praktik HR Modern

Indonesia memiliki regulasi ketenagakerjaan yang jelas mengatur hak cuti setiap karyawan. Meskipun begitu, masih banyak HR dan pekerja yang bingung atau salah kaprah. Padahal, memahami aturan cuti karyawan sangat penting untuk menghindari konflik dan sanksi hukum. Artikel ini membahas aturan cuti karyawan “fresh” sesuai UU terbaru, dengan penjelasan ringan dan fakta-fakta menarik agar konteksnya mengalir dari awal hingga akhir.

Dasar Hukum Cuti Karyawan

Hak cuti karyawan di Indonesia diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 (UU Ketenagakerjaan) dan aturan-aturan turunannya. UU menyatakan bahwa pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Sebagai contoh, Pasal 79 UU 13/2003 mengatur cuti tahunan: karyawan yang telah bekerja 12 bulan secara terus-menerus berhak atas minimal 12 hari kerja cuti tahunan. Artinya, pada bulan ke-13 karyawan sudah bisa mengambil cuti tahunannya, walau perusahaan boleh mengatur detailnya lewat PKB atau peraturan internal. Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga mengatur hak cuti lain yang wajib dipenuhi:

  • Maternity Leave/Cuti Melahirkan

Wanita pekerja berhak cuti 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan (total 3 bulan) dengan upah penuh.

  • Sick Leave/Cuti Sakit

Setiap karyawan boleh cuti sakit sesuai rekomendasi dokter; selama sakit berhak atas cuti dan tetap digaji penuh sesuai ketentuan perusahaan.

  • Menstrual Leave/Cuti Haid

Pekerja perempuan yang haid di dua hari pertama dapat tidak bekerja tanpa potong gaji, sesuai UU 13/2003 Pasal 81. Dengan kata lain, minimal 2 hari cuti haid setiap bulan dibayar penuh oleh perusahaan.

  • Hajj Leave/Cuti Haji/Umrah

Karyawan yang menunaikan ibadah haji atau umrah berhak cuti maksimal 50 hari sekali seumur kerja, dengan upah tetap dibayar penuh. Ini sudah diatur dalam pasal UU Ketenagakerjaan, sehingga perusahaan wajib memberikan kelonggaran sesuai aturan.

  • Important Leave/Cuti Penting (Nikah, Haid, dll)

UU menyebut ada cuti atas alasan penting, misalnya pernikahan pekerja, keluarga meninggal, khitanan anak, dsb. Detil cuti alasan penting diatur dalam Pasal 93 UU 13/2003.

  • Long Leave/Cuti Besar

Sebelum hadirnya UU Cipta Kerja, UU 13/2003 mewajibkan cuti besar 2 bulan setelah karyawan bekerja 6 tahun terus menerus. Namun aturan ini kini fleksibel; UU Cipta Kerja menjadikannya hak pilihan perusahaan dan pekerja, bukan kewajiban mutlak.

  • Mass Leave/Cuti Bersama

Ditetapkan pemerintah (Surat Edaran Menaker 2010) menjelang hari raya keagamaan/nasional. Cuti bersama ini biasanya terpotong dari jatah cuti tahunan karyawan jika diambil.

Dengan melihat uraian di atas, dapat disimpulkan UU Ketenagakerjaan 13/2003 menjamin sekurang-kurangnya 12 hari cuti tahunan berbayar per tahun kerja, serta hak istirahat lainnya bagi karyawan swasta. Semua ini harus dimuat dalam perjanjian kerja, aturan perusahaan, atau PKB, agar jelas tata cara pengajuannya.

Perubahan UU Cipta Kerja dan Implikasinya

Perubahan regulasi lewat UU No. 11/2020 (Cipta Kerja) dan turunannya mengubah beberapa pasal ketenagakerjaan, termasuk cuti. Misalnya, Cipta Kerja menyederhanakan istilah Pasal 79 UU 13/2003 menjadi Pasal 81 Cipta Kerja, tapi isi cuti tahunan tetap minimal 12 hari kerja setelah 12 bulan berturut. Meski kuantum cuti tahunan tak berubah, UU Cipta Kerja menjadikan cuti panjang (cuti besar) bersifat opsional. Artinya, perusahaan kini tidak wajib memberikan cuti panjang 2 bulan setelah 6 tahun kerja; cuti besar bisa diatur berdasarkan kesepakatan PKB atau peraturan perusahaan.

Perubahan lain: UU Cipta Kerja mempertegas bahwa cuti tahunan dan hak istirahat lain diatur bersama perjanjian kerja atau PKB. Namun, perusahaan tetap wajib memberikan minimal 12 hari cuti tahunan. Bagi HR, ini berarti meski UU baru lebih fleksibel soal cuti panjang, hak-hak karyawan (termasuk cuti tahunan, melahirkan, haid, sakit) tetap dilindungi dengan tegas.

Cuti Panjang (Istirahat Panjang)

Walaupun tidak wajib lagi, banyak perusahaan memilih tetap menerapkan cuti panjang sebagai bentuk apresiasi loyalitas. Cuti besar idealnya diberikan saat karyawan mencapai 6 tahun, yakni 2 bulan berturut (1 bulan di tahun ke-7 dan 1 bulan di tahun ke-8). Jika memberikan cuti besar, perusahaan tidak boleh mengurangi jatah cuti tahunan selama perhitungan cuti besar tersebut. Ketentuan lebih lanjut tentang “perusahaan tertentu” yang diperbolehkan memberi cuti panjang diatur oleh peraturan pemerintah (misalnya PP 35/2021).

Jenis-Jenis Cuti dan Tata Cara Pengajuan

Secara praktis, kita dapat membagi cuti karyawan menjadi dua golongan besar: cuti wajib berbayar dan cuti khusus. Berikut penjelasan ringkasnya:

  • Annual Leave/Cuti Tahunan

Hak dasar setiap karyawan. Setelah 12 bulan terus-menerus, karyawan memperoleh minimal 12 hari kerja cuti tahunan. Karyawan dapat mengambilnya sekaligus atau cicilan (biasanya maksimal dua cicilan). Jika tidak dihabiskan, sebagian perusahaan mengizinkan roll-over (gabung ke tahun berikutnya), namun banyak juga kebijakan yang membatasi masa berlaku satu dua tahun saja.

  • Sick Leave/Cuti Sakit

Karyawan yang jatuh sakit atau mengalami kondisi medis serius berhak cuti sakit. Selama mendapat rekomendasi dokter, ia tidak wajib masuk kerja dan tetap digaji penuh sesuai aturan. Ini penting: cuti sakit tidak mengurangi cuti tahunan karena dibiayai perusahaan.

  • Maternity Leave/Cuti Melahirkan

Pekerja wanita yang hamil wajib mendapat cuti melahirkan total 3 bulan (1,5 bulan sebelum & 1,5 bulan setelah kelahiran) dengan upah penuh. Kebijakan ini mutlak, tidak bisa dinegosiasikan; menolak atau tidak membayar cuti melahirkan dapat berujung pada gugatan hukum.

  • Menstrual Leave/Cuti Haid

Wanita yang mengalami gangguan haid berhak istirahat 1–2 hari di awal siklus tiap bulan dengan gaji tetap. UU 13/2003 Pasal 81 mengatur bahwa karyawan perempuan tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua haid jika sakit. Meski hak ini jarang dijalankan, secara hukum perusahaan seharusnya memfasilitasinya.

  • Hajj Leave/Cuti Haji/Umrah

Karyawan Muslim yang hendak berangkat haji/umrah berhak cuti maksimal 50 hari sekaligus dengan gaji penuh. Cuti ini hanya sekali seumur kerja, sehingga jika perusahaan memerlukan, ia harus dibayar oleh perusahaan (klaim gaji selama cuti ke pemerintah).

  • Important Leave/Cuti Alasan Penting

Meliputi alasan seperti pernikahan, kematian keluarga dekat, keluarga sakit parah, dan alasan penting lain. UU menyebut hak-hak ini dalam Pasal 93. Misalnya, cuti menikah biasa diberikan 3 hari berbayar (syarat: akta/undangan nikah), sementara cuti mendampingi keluarga sakit atau menghadiri keperluan penting lainnya bisa disesuaikan perusahaan.

Prosedur Pengajuan

Baik karyawan maupun HR harus tahu mekanisme pengajuan cuti sesuai aturan internal perusahaan. Idealnya, prosedur diuraikan jelas dalam buku pedoman karyawan: mulai dari formulir/portal pengajuan hingga batas waktu pengajuan (misal minimal 2 minggu untuk cuti tahunan) dan persetujuan atasan. Menurut survei, masih banyak pekerja kebingungan soal ini – misalnya hanya 35% karyawan mengetahui cara mengajukan cuti yang benar. Karyawan disarankan berkomunikasi terbuka ke HR atau atasan, menyiapkan rencana kerja (handover), serta mengajukan formal lewat email atau sistem HR online.

Tantangan dan Fakta Menarik Praktik Cuti

Dalam prakteknya, sejumlah permasalahan sering muncul: perusahaan belum memasukkan aturan cuti dalam perjanjian kerja, atau enggan menambah cuti di luar minimal UU. Ada juga pekerja yang “takut dimarahi” sehingga menghindari cuti, padahal cuti haknya. Data Kemnaker terbaru menunjukkan sekitar 72% perusahaan di Jakarta melanggar hak cuti karyawan, misalnya tidak memberikan jatah minimal 12 hari atau mengabaikan cuti melahirkan. Fakta ini menggarisbawahi betapa pentingnya mematuhi aturan.

Selain itu, ada gagasan menarik bahwa karyawan yang rajin menggunakan jatah cutinya justru lebih produktif karena istirahat cukup. WHO dan riset HR global menunjukkan burnout menurun ketika kebijakan cuti dijalankan baik. Di Indonesia, fenomena “hangusnya cuti” karena ketidaktahuan juga terjadi: banyak karyawan terlambat tahu mekanisme cuti atau enggan menagih hak, sehingga hak mereka terbuang sia-sia. Fakta menarik lain: meski UU mengatur cuti haid, banyak perusahaan belum menerapkannya karena anggapan mengganggu produksi; ini menjadi celah pengetahuan yang perlu dibereskan melalui edukasi HR.

Sanksi Hukum bagi Perusahaan

Perlu diketahui, pelanggaran aturan cuti tak hanya menciptakan moral hazard, tetapi juga dapat berujung ke ranah hukum. Hukumonline mencatat pengusaha yang tidak memberikan hak cuti tahunan minimal 12 hari setelah setahun kerja bisa dikenakan sanksi pidana penjara 1–12 bulan dan denda Rp10–100 juta. Artinya, mengabaikan ketentuan cuti bukan sekadar kesalahan administrasi – ada risiko penalti serius. Oleh karena itu, perusahaan wajib menyiapkan kebijakan cuti tertulis dan melaksanakan secara adil, misalnya dengan sistem absensi cuti terintegrasi untuk menghindari konflik.

Praktik Terbaik HR dalam Mengelola Cuti

Agar peraturan cuti berjalan lancar, beberapa langkah praktis dapat diikuti: pertama, sosialisasi internal. HR perlu menjelaskan hak cuti kepada karyawan baru maupun lama (misal saat onboarding), termasuk cara menghitung proporsional jatah jika belum genap setahun. Kedua, transparansi kebijakan. Misalnya, menjelaskan apakah ada opsi carry-over cuti atau kompensasi jika cuti tidak diambil (uang cuti). Ketiga, merencanakan pengganti. Jika cuti bertepatan dengan periode sibuk, karyawan bisa mengusulkan rencana penyelesaian tugas (handover) sehingga atasan tak keberatan mengizinkan cuti.

Tak kalah penting, HR harus memastikan peraturan internal tidak merugikan hak pekerja. Semua yang diatur sekadar memudahkan operasional boleh, tapi tidak boleh di bawah ambang UU (misal mengurangi jatah 12 hari). Di era digital, HRIS (Human Resource Information System) banyak membantu memantau sisa cuti karyawan secara real time. Ini mencegah potensi “kelebihan pakai” atau pemutusan kontrak yang melanggar hak cuti.

Sebagai penutup, ingatlah cuti karyawan bukan beban, melainkan investasi kesejahteraan. Karyawan yang cukup libur cenderung lebih termotivasi dan loyal. Oleh karena itu, penuhi hak cuti sesuai aturan terbaru, dan manfaatkan juga fleksibilitas sesuai kebutuhan bisnis. Dengan begitu, baik perusahaan maupun pekerja bisa menerima manfaat maksimal dari kebijakan cuti yang sehat.

Bagikan

Recent Article